Rabu, 23 Desember 2009

Potensi dan Kendala Guru Mata Pelajaran Sosiologi dalam Mengembangkan Proses Belajar Mengajar Berbasis Multimedia


Proses Belajar Mengajar (PBM) berbasis multimedia terbukti telah memberi kontribusi yang signifikan dalam meningkatkan hasil belajar siswa. Hal senada juga diungkapkan oleh beberapa ahli bahwa PBM berbasis multimedia sangat efektif dalam menjelaskan persoalan yang kompleks, irit waktu, meningkatkan minat siswa, mengurangi kebosanan, dan lebih bersemangat untuk mengembangkan bahan pelajarannya. Namun model pembelajaran di atas belum diimplementasikan oleh guru mata pelajaran secara optimal. Berlatarbelakang di atas penelitian ini mengangkat permasalahan “bagaimana potensi dan kendala guru Sosiologi dalam mengembangkan PBM berbasis multimedia pada mata pelajaran Sosiologi?” Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui potensi dan kendala sumber belajar, media pembelajaran dan ketrampilan guru dalam mengembangkan PBM berbasis multimedia.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Lokasi penelitian dilakukan di SMA Negeri 1 Semarang dan SMA Semesta Gunungpati Semarang. Fokus penelitian meliputi; sumber belajar yang tersedia dan digunakan, media pembelajaran yang tersedia dan digunakan dan ketrampilan guru Sosiologi dalam mengembangan PBM berbasis multimedia. Pengumpulan data menggunakan teknik penelusuran dokumentasi, observasi dan wawancara. Triangulasi merupakan teknik yang digunakan dalam menunjukkan keabsahan data. Sedangkan analisis menggunakan model analisis data induktif melalui tahap pengumpulan data, tahap reduksi data, tahap penyajian data dan tahapan penarikan kesimpulan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa SMA Negeri 1 Semarang dan SMA Semesta Gunungpati Semarang telah memiliki peralatan multimedia dengan lengkap. Potensi guru SMA Negeri 1 Semarang dalam mengembangkan PBM berbasis multimedia pada mata pelajaran Sosiologi yaitu; (1) telah menggunakan sumber belajar dari sumber cetak (buku paket dan LKS), dan sumber kegiatan (observasi); (2) telah menggunakan media pembelajaran (bagan, peta, grafik, kliping koran, lembar isian) yang disajikan dengan sajian ceramah. Sedangkan kendala yang dialami Guru Sosiologi dalam mengembangkan PBM berbasis multimedia yaitu belum menguasai materi Sosiologi secara mendalam, memiliki pandangan bahwa pembelajaran berbasis multimedia bukan solusi tepat dalam mengembangkan PBM berbasis multimedia, belum tersedianya VCD pembelajaran Sosiologi, belum mampu mengoperasikan peralatan multimedia dan terbatasnya waktu dan biaya dalam memproduksi media pembelajaran Sosiologi. Potensi guru Sosiologi SMA Semesta dalam mengembangkan PBM berbasis multimedia pada mata pelajaran Sosiologi yaitu; (1) telah menggunakan sumber belajar dari sumber cetak (buku paket dan LKS), sumber non-cetak (TV dan internet), sumber fasilitas (ruang multimedia) dan sumber kegiatan (observasi); (2) telah menggunakan media pembelajaran (foto, diagram, peta, grafik, kliping koran, majalah) yang disajikan dengan sajian power point; dan (3) memiliki ketrampilan dalam mengoperasikan peralatan multimedia.

Kendala yang dialami guru Sosiologi dalam mengembangkan PBM berbasis multimedia yaitu belum memahami materi Sosiologi secara mendalam, belum tersedianya VCD pembelajaran materi Sosiologi dan terbatasnya waktu dan biaya dalam mengembangkan media pembelajaran Sosiologi.
Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa Guru Sosiologi SMA Semesta memiliki potensi lebih besar dibandingkan guru Sosiologi di SMA Negeri 1 Semarang dalam mengembangkan PBM berbasis multimedia. Kemudian kendala ditemui lebih besar pada guru Sosiologi SMA Negeri 1 Semarang dibandingkan dengan guru Sosiologi SMA Semesta Gunungpati Semarang.

Lestarikan Ragam Budaya Karimunjawa



Lestarikan Ragam Budaya Karimunjawa

Oleh: Suhadi Rembang
Di antara ragam budaya yang ada di kepulauan Karimunjawa, Jepara, Jawa Tengah adalah terdapatnya beberapa suku yakni suku Jawa, suku Madura, suku Bugis serta 3 suku turunan yaitu suku Mandar, Bajo dan Buton.
Secara adminsitratif, ragam suku di atas berdiam diri di atas 27 gugusan pulau yang memiliki keindahan pasir putih dan pemandangan bawah laut dengan hidup bersahaja. Mayoritas penduduknya bermata pencahariaan sebagai nelayan, pengusaha sedang/besar, pengrajin/industri kecil, buruh industri, buruh bangunan, dan perkebunan besar kecil ini (Monografi Kec. Karimunjawa 2006). 
Namun dalam beberapa tahun terakhir ini, seiring dengan pengembangan potensi Karimunjawa berbasis wisata, perilaku perusakan lingkungan semakin marak. Hal ini dapat dilihat perilaku penangkapan ikan dengan menggunakan potasium sianida dan bom, eksploitasi terumbu karang, pengalihan fungsi lahan mangrove, penebangan pohon secara liar, eksploitasi kura-kura,  dan penjualan aset sosial kepada investor asing juga marak.
Lebih ironisnya, kerusakan lingkungan di kepulauan Karimunjawa sudah merambah di 27 pulau kecil yang tersebar di daerah itu. Hal ini masih di tambah lagi dengan lima pulau tidak lagi dapat dikelola, yaitu Pulau Gundul, Genting, Cendekiyan, Seruni, dan Pulau Sembangan dan pulau yang lain sudah menjadi milik PT Pura, TNI, dan milik perseorangan (dalam http://www.suaramerdeka.com).
Dengan keadaan di atas, penduduk Karimunjawa yang asal mulanya perantauan dari pulau jauh lalu menetap dengan hidup bersahaja, kalau tidak diperhatikan, sangat mungkin penduduk yang menempati pulau ini akan melakukan perusakan alam karena ekosistem yang hancur dan tuntutan ekonomi dari hari kehari makin bertambah. Untuk itu perlu kiranya di lakukan model pelestarian alam berbasis sosial budaya pada masyarakat di kepulauan ini. Untuk melestarikan lingkungan hidup berbasis sosial budaya di kepulauan Karimunjawa dapat melalui tiga level praktis, yaitu level struktural, institusional dan kultural.
Dari tiga level praktis di atas, setiap levelnya memiliki fokus sendiri-sendiri. Level struktural akan dikembangkan kelembagaannya, level institusional akan dikembangkan sumber daya manusianya dan level kultural akan dikembangkan nilai-nilai budayanya. Dengan tiga langkah di atas, pulau Karimunjawa akan berhasil untuk dikembangkan menjadi aset wisata bahari tanpa merusak kelestarian alam di dalamnya. 

Model Percepatan Gerakan Desa Tuntas Buta Aksara


Program Keaksaraan Melalui Belajar Sambil Bekerja:
Sebuah Model Percepatan Gerakan Desa Tuntas Buta Aksara
Oleh: Suhadi Rembang

Pemberantasan buta akara di Jawa Tengah masih dalam keadaan memprihatinkan. Walaupun telah banya program keaksaraan yang digencarkan, namun provinsi Jawa Tengah masih saja sebagai penyandang buta aksara terbesar kedua dari delapan provinsi di Indonesia. Namun anehnya pemerintah prvinsi Jawa Tenah baru-baru ini berani menargetkan bahwa pada tahun 2009 nanti penduduk jawa tegah bebas dari buta aksara. Padahal kalau dikaji lebih lanjut, program keaksaraan selama ini terdapat dua kendala pokok yang belum pernah diperbaiki, yaitu; minat keakasaan kelompok sasaran program keaksaraan relatif rendah jika dibandingkan dengan minat untuk kerja dan program keaksaaraan selama ini tdak inovatif. Berlatar belakang diatas, karya tulis ini menawarkan sebuah model percepatan gerakan desa buta aksara di jawa tengah dengan program keaksaraan melalui belajar sambil bekerja.
Dalam karya tulis ini akan diajukan tiga rumusan masalah sebagai berikut; 1) Bagaimana model keaksaraan melalui belajar sambil bekerja sebagai percepatan gerakan desa tuntas buta aksara; 2) Komponen apa saja yang diperlukan dalam program keaksaraan di atas; dan 3) bagaimana langkah-langkah program keaksaraan melalui belajar sambil bekerja sebagai model percepatan gerakan desa tuntas buta aksara. Penulisan karya tulis ini menggunakan metode penulisan dengn pendekatan kajian pustaka. Sumber kepustakaan yang digunakan adalah  buku-buku yang mendukung kepustakaan dengan data-data  yang didapatkan dari harian umum surat kabar, jurnal, majalah, dan hasil penelitian.
Dalam kajian ilmiah ini dapat disimpulkan sebagai berikut:  pertama, model keaksaraan melalui belajar sambil bekerja yaitu pola konseptual yang sistematis yang berfungsi sebagai pemandu dan perancang desain keaksaraan bagi lembaga penyelenggara program keaksaraan untuk mencapai tujuan pemberantasan buta aksara dengan pendekatan bekerja lembaga pemagangan yang berorientasi profit;.  kedua, komponen yang diperlukan dalam melaksanakan program keaksaraan melalui belajar sambil bekerja sebagai percepatan gerakan desa tuntas buta aksara meliputi; kurikulum, gedung, tenaga ahli tutorial, peserta didik/kelompok sasaran, sarana dan prasarana, permodalan, ruang praktek. ketiga, langkah-langkah program keaksaraan melalui belajar sambil bekerja sebagai model percepatan gerakan desa tuntas buta aksara meliptui; tahap persiapan, tahap pembenahan, tahap pelaksanaan, tahap evaluasi dan tahap pendampingan

Kata kunci: program keaksaraan, belajar sambil bekerja, percepatan buta aksara



Melacak Penanaman Nilai Kekerasan Terhadap Anak

Oleh: Suhadi Rembang 

Jauh sebelum munculnya media audio visual seperti televisi, penanaman nilai kekerasan kepada anak telah dilakukan dengan cara melalui medium cerita-cerita rakyat yang sifatnya heroik. Walaupun banyak ahli yang mengatakan bahwa cerita-cerita rakyat banyak mengandung pesan positif, namun jika dilihat dari cara pandang konflik, tidak sedikit pula cerita-cerita tersebut yang mengandung nilai seperti balas dendam, kedengkian, kesombongan dan pemikiran-pemikiran yang sifatnya spekulatif. Multitafsir inilah yang kemudian menumbuh-kembangkan makna seperti halnya dua wajah dalam satu uang logam. Sehingga kemudian memunculkan suatu kearifan lokal, dimana salah-benarnya cerita rakyat tidak lagi dipertanyakan, katakanlah terjadi kesepakatan kolektif, biarlah cerita rakyat berkembang berdasarkan lokalitas masing-masing.

Seiring dengan menggelindingnya teknologi telekomunikasi yang diejawantahkan dengan kehadiran kotak ajaib (televisi) ini, berbagai tayangan yang sifatnya lintas negara, lintas agama, lintas ide, lintas sosial, lintas budaya, dan lintasan-lintasan struktural kepentingan tidak mampu kita bendung, telah bermunculan seperti kuncup bunga yang sedang merias diri di musim hujan. Tayangan-tayangan yang dipertontonkan tersebut, tidak sulit untuk kita lihat suatu tayangan-tayangan yang mengandung pembudayaan nilai-nilai kekerasan yang ditampilkan dalam layar hiburan murah ini, misalnya tayangan Smack Down. Tayangan-tayangan penyeimbang juga tidak sulit untuk kita dapatkan, misalnya diskusi interaktif para ahli dan tokoh yang membongkar pesan-pesan yang mendidik ke arak positif dan ke arah negatif. Namun kenyataannya, penonton pendukung untuk tayangan penyeimbangkan ini kalah jauh masyarakat pendukungnya jika dibandingkan dengan tayangan-tayangan yang menguras hormon adrenalin ini. Permasalahan yang muncul dipermukaan kemudian adalah kenapa masyarakat hanya berdiam diri, sambil ketawa-ketiwi, menikmati hiburan yang kental akan penanaman kekerasan pada suatu generasi, padahal mereka tidak sedikit yang tidak tahu akan dampak dari tontonan komersial yang mengikat ini. Setidaknya ada dua hal narasi besar yang dapat disumbangkan dalam menganalisis fenomena tayangan kekerasan seperti Smack Down dan lain-lainnya, diantaranya adalah proses enkulturasi pada anak sejak kecil dan kecenderungan-kecenderungan gaya hidup masyarakat modern.

Proses enkulturasi pada anak sejak kecil akan nilai-nilai kekerasan yang menguras hormon adrenalin, sejak dulu, diakui atau tidak telah diwakilkan dengan kehadiran cerita-cerita rakyat disela-sela menina-bobokkan putra-putri tercintanya. Semua anak sebagian besar tidak akan lepas dari incaran cerita-cerita rakyat produk lokal masing-masing. Lebih-lebih pada masyarakat Jawa yang memiliki ribuan cerita rakyat yang selama ini sebagai mozaik entitas primordial. Cerita rakyat yang tidak mengenal batas wilayah, cerita rakyat yang tidak memiliki tafsir ideal, ceriti rakyat yang tidak mengenal benar dan salah, kemudian menjadi daya tarik sendiri sebagai buah kasih sayang dari seorang ibu dan generasi tua kepada anak dan cucu kesangannya. Dengan demikian, masyarakat kita telah lekat akan nilai-nilai multitafsir ini yang sarat akan pesan negatif dan positifnya. Masyarakat kita, termasuk golongan anak-anak kecil telah terbiasa untuk mendengar, menghafal dan merasakan cerita-cerita yang sarat pula akan pesan kedengkian, kesombongan, keangkuhan, dan dendam sepanjang hayat. Walaupun dari sisi fungsionalnya, cerita rakyat yang memiliki pesan keharmonian untuk mencapai visi dan misi hidup yang ideal. Namun dengan sendirinya, dengan kehadiran tayangan-tayangan yang lekat akan muatan-muatan kekerasan saat ini, masyarakat lebih aktif dalam mengkonsumsi tayangan-tayangan tersebut. Hal ini dikarenakan masyarakat kita lebih dulu mendapatkan penanaman nilai-nilai (enkulturasi) dua wajah ini. Masyarakat tidak bergeliat sedikitpun untuk mengkritisi secara radik dan mendalam. Tayangan-tayangan yang memacu pengumbaran perasaan emosional ini semakin diminati, masyarakat pendukungnya semakin luas, hal ini kemudian dimanfaatkan pihak pemilik saham pertelevisian semakin umbar-umbaran dalam memproduksi dan menayangkan tayangan tersebut. Konsepsi masyarakat lebih dahulu di bentuk, pemikiran masyarakat lebih awal di bingkai, ide-ide masyarakat telah digenjot terlebih dahulu untuk menerima muatan-muatan kekerasan yang awalnya dari media cerita rakyat lokal.

Kedua,  tontonan kekerasan komersial ini juga didorong dengan kuat oleh gaya hidup masyarakat modern. Salah satu kecenderungan-kecenderungan kuat di era masyarakat modern ini adalah orientasi menuju masyarakat industri. Ciri khas dari masyarakat industri adalah munculnya budaya instan (siap saji) untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan baik dibidang materi, kesenian, sosial, budaya dan keagamaan. Kemudian dengan keadaan masyarakat  industri ini, berdampak sedikitnya waktu untuk berinteraksi dengan keluarganya. Hal ini juga merambah pada pola-pola keseharian sebelum terbentuknya masyarakat industri, yaitu pendampingan yang intensif kepada anak yang penuh dengan sentuhan kasih sayang lentik jari sang orang tua. Di era masyarakat industri ini, di akui atau tidak, telah nampak pergeseran sebuah makna kasih sayang, yang dulunya kasih sayang orang tua selalu diejawantahkan dengan menimang-nimang anaknya, mengasuh dengan lembutnya lentik jemarinya, namun saat ini, kasih sayang orang tua pada anak hanya terfokus dalam pemenuhan materi dan mengirim di lembaga pendidikan formal. Hal ini dikarenakan tuntutan orang tua akan gaya hidup yang serba ada. Berbagai kebutuhan materi dan hiburan disediakan dirumah, diantaranya televisi, playstation, handphone, dan jenis produk menarik yang sering dipasarkan melalui iklan dan layanan intertaiment lainnya yang mudah diakses untuk mendapatkannya. Tugas orang tua saat ini seolah-ohal hanya mencari nafkah, keluarga bukan lagi menjadi institusi yang berperan memberi taburan-taburan lembut kasih sayang kepada anggota keluarganya, institusi keluarga hanya sebagai pemenuhan kebutuhan materi unsich saja.

Untuk menyikapi fenomena di atas, yang perlu ditanamkan kuat-kuat pada bangsa ini adalah pandangan tentang nilai anak. Terlepas nilai anak yang ideal seperti apa, yang perlu ditekankan saat ini yaitu anak sebagai investasi peradaban. Memang memburu materi (ekonomi) merupakan kendaraan untuk memperadabkan bangsa. Namun itu hanya suatu kendaraan, jadi bukan hal yang utama, yang utama adalah ruh peradaban, yaitu anak itu sendiri. Setinggi-tingginya kepemilihan ekonomi, kalau pewaris materi (anak) tidak diperhatikan, materi hanyalah lintasan yang tidak lebih dari waktu yang tidak pernah dimanfaatkan. Dari cara pandang seperti di atas, secara otomatis akan menggiring kita pada dua latar masalah yang diuraikan di atas, yaitu re-enkulturasi dan re-lifestyle-sasi. 

Re’enkulturasi adalah mendesain ulang kandungan cerita-cerita rakyat yang sarat akan multitafsir seperti diatas. Praktiksnya yaitu memilih cerita-cerita rakyat yang tidak lebih mengandung nilai kedengkian, dendam sepanjang hayat, pergolakan, penghianatan dan lain sebagainya. Para ahli (akademisi) dan praktisi (orang tua/generasi tua) harus pandai-pandai memilih cerita-cerita rakyat yang sarat untuk menyiapkan nilai-nilai dalam memacu kematangan, kesadaran dan kedewasaan sang anak, bukan sebaliknya. Cerita-cerita rakyat yang diproduksi dan disosialisasikan sudah saatnya dipilih cerita-cerita yang kandungan pesannya sarat akan pendorong etos kerja. Karena telah terbukti bahwa tidak sedikit pula cerita-cerita rakyat yang lekat akan nilai-nilai etos kerjanya.
Re-lifestily-sasi tidak lain adalah mendesain ulang gaya hidup yang terpola pada masyarakat industri saat ini. Budaya instan perlu diracik ulang dalam praksisnya, apakah instanisasi saat ini telah mampu memproyeksikan anak yang ideal. Pemenuhan kuajiban orang tua dan penerimaan hak anak juga perlu di kaji ulang. Bahkan praksisnya dapat diperdebatkan ulang eksisnya kaum ibu diladang ekonomi yang meninggalkan sentuhan kasih terhadap anaknya. Dengan cara pandang sutau anak yang ideal, yang dalam praksisnya dapat dilakukan dengan cara re-enkulturasi dan re-lifestyle-sasi ini, sebagai langkah untuk mengembalikan posisi anak sebagai investasi peradaban dan pewaris kebudayan unggul dan mapan.

Karya Tulis Ilmiah, Pembelajaran Kontekstual, dan Motivasi Belajar: Konsep Pembelajaran Mutakhir di Kelas

-->

Mengapa bangsa Indonesia masih kesulitan dalam mengembangkan budaya tulis menulis. Minimnya motivasi menulis ini dikarenakan tidak ada tradisi tulis yang kuat. Tradisi kita lebih banyak mengadopsi tradisi lisan. Pola murid yang mengikuti apa yang diarahkan guru, hanya sebatas mendengarkan dan menghafal materi. Pengembangkan sistem pendidikan yang tidak dialogis, telah membangun pola minimnya penulisan buku teks di banyak perguruan tinggi saat ini. Kondisi di atas menyebabkan kurva kualitas akademik bangsa kita cenderung lamban. Kegiatan akademik di lingkungan lembaga pendidikan dan masyarakat tidak mendalam. Cara berfikir ilmiah seperti alur pengeksplorasian masalah, pembacaan setting masalah, penajaman analisis, sampai pada tingkat pengambilan kesimpulan tidak memiliki keterpaduan. Hal ini jelas menumbuhsuburkan pola pandang yang tidak sehat. Analisa tajam dengan alur eksplanatif, diskutif, interpretatif, dan implikatif pada suatu masalah sering mandul. Dengan demikian cenderung setiap manusia Indonesia tidak optimal dalam memberikan sumbangsihnya tentang peran ilmu pengetahuan dalam memajukan bangsa. Untuk itu perlu dilakukan racikan model pembelajaran mutakhir dan kekinian, agar kontribusi pemikiran melalui ilmu pengetahuan anak bangsa dalam pembangunan akan lebih nyata. Berdasarkan latar belakang di atas, dalam artikel ini akan disuguhkan konsep pembelajaran kekinian dengan pendekatan kekinian (kontekstual) yang dibingkai dengan semangat nilai hidup yang bermakna (motivasi belajar). Karya tulis dalam artikel ini mendapatkan ruang utama dalam menopang kualitas anak didik di kelas.

Mengapa karya tulis ilmiah. Pada saat ini terdapat kecenderungan kebutuhan kekinian pada pelajar dan mahasiswa. Kebutuhan tersebut adalah anak didik mampu menunjukkan kreativitas menuliskan dalam bentuk usulan program edukatif keilmuan. Kedua adalah anak didik mampu melakukan komunikasi lintas budaya untuk mempresentasikan usulan program edukasi keilmuan. Mulai pada jenjang sekolah menengah pertama, jenjang sekolah menegah atas, sampai pada bangku perguruan tinggi, siswa-siswi dan para mahasiswa yang berkualitas adalah mereka yang mampu memproyeksikan kegundahan keilmuannya dalam bentuk tulisan yang kemudian ditindaklanjuti dengan penelitian. Dengan proses penelitian inilah ditemukan alternatif-alternatif solusi untuk menjawab masalah yang diusung. Penemuan-penemuan yang selalu di nanti untuk menjawab masalah pada masyarakat global selalu mendapatkan tingkat apresiasi utama dan ditempatkan pada ruang khusus. Anak bangsa yang mampu memposisikan dirinya seperti di atas selalu mendapatkan apresiasi positif oleh masyarakat biasanya mampu pula melakukan komunikasi lintas budaya. Kemampuan berbahasa internasional menjadi jembatan untuk mengkomunikasikan tulisannya di lintasan global.

Beberapa sekolah pada saat ini ada kecenderungan mencanangkan ragam program unggulan. Mendorong anak didiknya dan pendidiknya untuk ikut serta dalam olimpiade berbagai disiplin ilmu di tingkat dunia menjadi cambuknya. Olimpiade ilmu pengeahuan di bidang eksak, ilmu sosial, sastra dan ragam penemuan teknologi tepat guna di tingkat dunia telah menjadi visi dari beberapa sekolah unggulan. Dinamika keilimiahan yang semakin dinamis dan ramai inilah yang akan diapresiasi oleh masyarakat dunia. Kedepan pola pembelajaran yang monoton dan tradisonal pada sekolah-sekolah dan perguruan tinggi tidak lagi mendapatkan ruang. Konsep pembelajaran yang mampu mengantarkan anak didik dan mahasiwa lah yang akan berkembang dan tidak terlindas dan hengkang oleh zaman.

Karya tulis ilmiah merupakan strategi implementasi konsep pembelajaran mutakhir di kelas sebagai paduan konsep pembelajaran kontekstual dan motivasi belajar.  Konsep pembelajaran dengan pendekatan kontekstual menuntut suatu kreativitas dan produktivitas siswa di bidang ilmu pengetahuan. Dalam menumbuhkan kreativitas dan produktivitas unggulan, diperlukan motivasi belajar yang handal, hadap masalah dan kebutuhan kekinian di dunia akdemik. Karya tulis di sini hanyalah salah satu strategi untuk implementasi model, agar tercipta partisipasi pembelajaran yang integralistik. Guru sebagai fasilitasi pembelajaran, anak didik sebagai pelaku aktif pendidikan, masyarakat sebagai pendamping pembelajaran, dan lembaga sekolah sebagai pihak dalam menindaklanjuti dan mengantarkan capaian potensi anak didik. Sehingga dapat dikatakan karya tulis tingkat merupakan strategi untuk menjembatani para anak didik, guru, dan penyelenggara proses pembelajaran mampu mencapai luaran program akademik yang bermutu, berkualitas dan hadap masalah kekinian.

Model integrasi kurikulum pada penyelengara pendidikan semakin diminati oleh masyarakat pembelajar. Pola pandang yang tidak berdiri sendiri dan mampu mengkomunikasikan sumber daya, peluang, serta strategi semakin tumbuh berkembang dan diminati masyarakat pembelajar. Dalam dialog membangun peradaban, ilmu tidak lagi arogan berdiri sendiri. Dalam membangun peradaban seperti dengan basis industri dan pertanian misalnya, kolaborasi ragam ilmu pasti, ilmu sosial, sastra, dan seni telah memberi jabawan untuk merancang kekuatan teknologi sosial yang lebih handal dalam membeikan impian dalam membangun peradaban. Sehinga dialog yang bingkai dengan silang kurikulum dalam masyarakat pembelajar menjadi kebutuhan mendesak. Dalam dialog ilmu sosial misalnya, disiplin ilmu sosiologi, antropologi, geografi, ekonomi, dan politik akan memberi nuansa yang lebih hidup, ketimbang dialog satu disiplin ilmu yang tidak kontekstual.

Keterlibatan masyarakat pembelajar pada era masa kini semakin di butuhkan. Segenap anak didik, fasilitator pembelajaran (guru/dosen/tokoh masyarakat), pemerhati, peneliti, penyelenggara pendidikan, wali muri, masyarakat, pihak swasta, dan pemangku kepentingan, semakin dinanti kolaborasi dalam menumbuhkan model partisipasi pembangunan peradaban.

Siswa menghasilkan karya tulis bidang keilmuan masing-masing. Karya tulis dapat ditindaklanjuti dengan mengikutsertakan dalam perlombaan karya tulis di tingkat nasional dan internasional. Guru menghasilkan karya penelitian mandiri pada mata pelajaran yang dibidani. Karya penelitian ini dapat ditindaklanjuti dengan mengikusertakan hasil penelitiannya ke jurnal ilmiah terakreditasi tingkat nasional dan internasional. Karya penelitian guru ini dapat dilanjutkan dengan penelitian dalam bentuk implementasi modelling atau penelitian lanjutan. Pihak lembaga pendidikan dapat memetakan siswa siswinya yang memiliki keunggulan untuk dilombakan ditingkat nasional dan internasional. Pihak peneliti dari perguruan tinggi akan mendapatkan ruang seluas-luasnya dalam menyebarluaskan konsep keilmuan yang unik dan berkualitas.

Mengembangkan konsep pembelajaran dengan model karya tulis ilmian akan terwujud jika di topang dengan pemberdayaan potensi dan meminimalisir kendala yang ada. Dukungan kelembagaan pembelajaran, dukungan kebijakan lembaga, dukungan sumber daya fasilitator, dukungan orang tua dan masyarakat, dukungan sarana dan prasarana keilmiahan, dan dukungan nuansa akademik akan menjadi kebutuhan mendasar dalam mencanangkan pembeajaran berbasis karya tulis. Dukungan kelembagaan seperti kelembagaan yang memiliki semangat visioner selalu unggul prestasi, struktur keilmiahan yang kuat, terdapat komunitas ilmiah di tingkat guru dan siswa, keterbuaan lembaga sebagai pusat studi/riset merupakan beberapa karakteristik kelembagaan yang siap mengapresiasikan konsep permbelajaran karya tulis ilmiah. Begitu hanya di bidang dukungan kebijakan, kondisi seperti tersedianya anggaran, dan perekrutan sumber daya pendamping juga menjadi prasyarat  mengimplementasikan model di atas. Dukungan sarana dan prasarana keilmiahan yang mampu menjadi jembatan komunikasi keilmiahan global seperti tersedianya perpustakaan, internet, mass media, dan juga jurnal publikasi penelitian. Tentunya hadirnya lingkungan akademik seperti perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, pemerintah, dan pihak swasta juga selalu dinanti dalam menyumbangkan partisipasi keilmiahan. Namun potensi ini akan semakin tenggelam untuk dihadapkan, jika kendala struktural, phak pelaksana, sswa, dan masyaarakat masih berkubang pada pola-pola keseharian yang jauh dari keberpihakan penghidupan karya tulis yang kontekstual dan motivasi belajar dalam lingkup dinamika di ruang kelas yang lebih sempit. Selamat membangun peradaban, terimakasih.

Model Kemitraan Antara Sekolah Lokal Dengan Lembaga Penyuluh Pertanian

Model Kemitraan Antara Sekolah Lokal Dengan Lembaga Penyuluh Pertanian Dalam Membangun Kelembagaan Pertanian Untuk Meningkatkan Produktivitas Usaha Tani Dan Pendapatan Petani
Oleh: Suhadi Rembang

Sebab ketidakberdayaan petani kita dalam memegang kedaulatan pangan adalah petani masih dibelenggu oleh kemiskinan struktural. Ketidakberdayaan disebabkan petani belum mampu membangun akses;  ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial, seni, dan teknologi. Pola keseharian yang belum berani mengambil resiko lebih besar, telah mengkontruksi pandangan, tindakan, dan harapannya untuk selalu di lapisan peri-peri.  Kondisi demikian membuat petani secara umum masih dalam kubangan kemiskinan di sepanjang zaman.
Pemberdayaan masyarakat adalah kata kunci agar petani kita tidak disibukkan dalam kubangan keterbelakangan. Saatnya petani kita mendapatkan pencerahan dalam bentuk memberikan strategi untuk mengakses pengetahuan dan kekuasaan agar lepas dari jeratan kemiskinan. Kajian tentang kelembagaan kontekstual merupakan materi wajib untuk dihadirkan kepada petani. Dengan memahami kelembagaan, diharapkan petani akan memahami aturan main sistem, model struktur, dan mampu mengorganisir potensi dan kelemahannya, untuk mencapai produktivitas usaha tani dan meningkatkan pendapatan dalam kesehariannya.
Studi kelembagan pertanian telah menunjukkan, betapa rendahnya kapasitas petani kita dalam mengkonstruksi kelembagaan pertanian. Keberadaan ragam kelembagaan pertanian dalam memompa denyut nadi kebangkitan pertanian nasional, tidak lepas dengan kehadiran ragam kelembagaan pertanian. Kelembagaan yang konsen di bidang saprodi, agribisnis, pemasaran, permodalan, irigasi, informasi dan komunikasi, transportasi, teknologi pertanian, lembaga studi pertanian, lembaga pemetaan wilayah, dan beberapa lembaga yang kehadirannya fungsional dalam meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani, sudah saatnya dihadirkan. Sampai saat ini beberapa penelitian para ahli kelembagaan pertanian sebagian besar menyimpulkan masih lemahnya peranan lembaga pertanian nasional. Hal ini dapat di lihat pada tabel di bawah ini.
Tabel. Maping Penelitian Kelembagaan Pertanian
Peneliti
Tahun
Masalah
Hasil
Tim
2002
Pengembangan akses informasi pasar
Kendala: Belum berkembangnya kelembagaan pemasaran. Masalah: belum adanya relevansi political will-statement-action,. Tantangan: keberhasilan pertanian dipengaruhi akses informasi. Peluang: sudah terlaksananya sistem informasi online,
Ratna sri widyastuti.

2003
Peranan tekonlogi dalam proruktivitas pertanian
penggunaan teknologi pertanian memiliki tingkat korelasi dengan produktivitas pertania yang bervairasi
Tim
2004
Lembaga koperasi
Peranan koperasi dalam mendukung perilaku agribisnis petani tidak optimal
Adang Agustian, et al.
2005
Lembaga pemasaran holtikultura
Petani holtikultura memiliki posisi tawar rendah
Sumaryanto, et al.
2006
Sistem irigasi

Lembaga dan petugas serta kondisi fisik irigasi relatif buruk.
Saptana, et al.

2006

Rantai pasok sayuran
Posisi petani sub ordinat, struktur pasar monopoli (pembeli tunggal), Manajemen rantai pasok sayuran jawa barat: petani—pedagang pengumpul (tengkulak)—bandar atau pedagang pengumpul—pasar induk--
I Wayan Rusastra, et al.
2006
Lembaga pemasaran ternak
Peternak Sapi potong, Daging Ayam, Telur Ayam tidak punya akses pada pasar modern
Bambang sayaka, et al.

2006
Menganalisis sistem pembenihan
Sistem penyaluran benih terjadi pemotongan struktur, misalnya Puslitbang/Balitkomoditas—penangkar dan produsen—petani
Rooganda elizabeth
2007
Kelembagaan kedelai
Dalam membangun kelembagaan pemasaran kedelai diperlukan relasi sosial, ekonomi, mengkaji alternatif kebijakan pembangunan dan pemberdayaan kelembagaan pedesaan.
Rachmat et. al
2007
Faktor dan strategi LKM di desa
Keberhasilan LKM dalam peminjaman penyedia modal usaha masih bias
Shobba shetty
2007
Sistem penawaran buah lokal
Buah impor mendominasi pasar swalayan, cepatnya peralihan sistem penawaran tradisional, petani yang aktif di pasar swalayan adalah pemilik lahan dan modal
Sumber: Diolah dari berbagai sumber penelitian.

Rendahnya kapasitas pengetahuan petani dalam memuliakan pertaniannya, dan tidak mampunya kelembagaan pendukung dalam memberi jalan keluar untuk mengatasi perihal hambatan dan kendala dalam meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani, diharapkan peran penyuluh pertanian mampu hadir untuk membangun sistem kelembagaan pertanian yang masih lemah itu. Penyuluhan pertanian diharapkan tampil sebagai agen yang mampu melakukan proses transfer pengetahuan untuk memperdayakan masyarakat. Dengan melakukan pemberdayaan dan pendampingan dalam mencari, menciptakan, menggunakan akses kelembagaan terkait produksi, diskribusi dan konsumsi produk pertanian, produktivitas dan pendapatan petani akan meningkat.  Kenyataannya, berdasarkan temuan pata peneliti di lapangan, penyuluh pertanian cenderung gagal dalam menjalankan fungsi yang diharapkan secara ideal. Hal ini dapat di lihat pada tabel di bawah ini.
Tabel. Maping Penelitian Penyuluh Pertanian

Peneliti
Tahun
Masalah
Hasil penelitian
Waridin
1999
Peran penyuluh pertania di Jawa
Tugas penyuluh pertanian dalam pengembangan pertanian tidak dapat terlaksana secara optimal
Djari
2001
Sistem pendidikan petani yang lemah
Mengembangkan kemampuan (meliputi pengetahuan, sikap dan keterampilan) petani, untuk mencapai petani yang tangguh
Puskaji
2002
Sistem penyuluh pertanian masih lemah
Penempatan penyuluh dan penghidupan fungsi BPP di daerah.
Fatchan
2004
Kegagalan penyuluh pertanian
Para penyuluh hanya terpatri pada teori pertanian dan tidak memahami watak dasar tanah dan karakter musim
Mawardi
2004
Kinerja penyuluh pertanian tidak optimal
Kelembagaan sering berubah-ubah
Akmal
2005
Masyarakat petani sulit keluar dari kemiskinan struktural
peran penyuluhan tidak optimal
Deptan
2007
Peran penyuluh di daerah
Memperlancar diseminasi dan penerapan teknologi produksi, pengolahan dan peningkatan mutu hasil
Sumber: Diolah dari berbagai sumber penelitian terdahulu

Berdasarkan kajian di atas, perlu dilakukan permodelan dalam membangun kelembagaan pertanian secara mendalam tentang kapasitas kelembagaan penyuluh pertanian dalam mewujudkan produktivitas pertanian unggulan dan meningkatnya pendapatan pertanian nasional ke arah lebih baik. Perlu digelontorkan strategi pemberdayaan demi terwujudnya pemulihan dan peningkatan keberdayaan petani untuk mampu berbuat sesuai dengan harkat dan martabat mereka dalam melaksanakan hak-hak dan tanggung jawab mereka sebagai komunitas manusia yang unik dan merdeka.
Model yang saya maksud yaitu model kemitraan sekolah penyuluh pertanian. Model kemitraan sekolah penyuluh pertanian, menurut saya, adalah model kemitraan antara sekolah lokal dengan lembaga penyuluh pertanian dalam membangun kelembagaan pertanian untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani. Wilayah kerja strategi kemitraan sekolah penyuluh pertanian adalah memberikan, menyebarluaskan, dan mendampingi masyarakat petani dalam membangun kelembagaan pertanian. Materi kelembagaan pertanian di bidang saprodi, agribisnis, pemasaran, permodalan, irigasi, informasi dan komunikasi, transportasi, teknologi pertanian, lembaga studi pertanian, lembaga pemetaan wilayah, dan beberapa lembaga yang kehadirannya fungsional dalam meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani, saatnya dihadirkan di sekolah. Sekolah yang sekitar lingkungannya berbasis pertanian akan lebih mendorong terwujudnya model ini. Melalui model sekolah kemitraan ini, kader penyuluh pertanian dapat berdialog dengan anak didik di sekolah setempat, dengan payung kurikulum muatan lokal unggulan sekolah atau ekstra kulikuler unggulan daerah yang bersangkutan.
Model kemitraan sekolah penyuluh pertanian yang telah berjalan selanjutnya dikembangkan dengan konsep laboratorium pertanian sosial. Konsep laboratorium pertanian, menurut saya, adalah ruang yang tersedia dalam masyarakat untuk mengimplementasikan pengetahuan tentang kajian kelembagaan pertanian antara sekolah lokal dengan lembaga penyuluh pertanian. Melalui laboratorium pertanian sosial, diharapkan menjadi jembatan besar antara sekolah dan penyuluh pertanian  dengan masyarakat petani dalam membangun kelembagaan pertanian untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani. Skema model kemitraan antara sekolah lokal dengan lembaga penyuluh pertanian dalam membangun kelembagaan pertanian untuk meningkatkan produktivitas usaha tani dan pendapatan petani dapat dilihat di bawah ini. Terimakasih.


Sumber Tulisan

Adang Agustian, et al.. 2005. Analisis Berbagai Bentuk Kelembagaan Pemasaran dan Dampaknya Terhadap Peningkatan Usaha Komoditas Pertanian. Bogor. Pusat Analisi Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Laporan akhir penelitian TA 2005.
Akmal. 2005. Konsultasi Publik White Paper – Padang Kebijakan Pertanian Indonesia. Kamis, 27 Januari 2005. dalam http://www.jajaki.or.id/data/ publications /MoM%20Padang %20Agri %20-%2027%20Jan%2005.DOCAxinn, George. H,1988. Guide on Alternative Extension Approaches oaches and Agric. Organizes tion of the United Nations
Bambang sayaka, et al.. 2006. Analisis sistem pembenihan komoditas pangan dan perkebunan utama. Pusat analisis sosial ekonomi dan kebijakan pertanian. Badan penelitian dan pengembangan
Deptan. 2007. Revitalisasi Penyuluhan Pertanian. Dalam keluarganya. Dalam http ://pse.litbang.deptan.go.id/ind/index.php? option=com content&task=view&id=429&Itemid=65. Diunduh pada tanggal 17 November 2007. 
Djari E,C.M. Andrews,1982. Peranan Komunikasi Massa Dalam Pembangunan. Suatu Kumpulan Karangan Gadjah Mada Press.
Ika Sadikin, et al.. 1999. Kajian Kelembagaan Agribisnis dalam Mendukung Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Berbasis Agroekosistem. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian Bogor.
I Wayan Rusastra, et al.. 2006. Analisis Kelembagaan Rantai Pasok Komoditas Peternakan. Laporan akhir penelitian TA 2006. Bogor. Pusat Analisi Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Marwan Syaukani. 2005. Konsepsi Kelembagaan Dalam Mewujudkan Sektor Perikanan Sebagai Prime Mover Perekonomian Nasional. Institud Pertanian Bogor. Sekolah Pasca Sarjana. S3.
Rooganda elizabeth. 2007.  Penguatan dan pemberdayaan kelembagaan petani mendukung pengembangan kedelai
Ratna sri widyastuti. 2003. Produktivitas pertanian dan terknologi pertanian. Fe ui. Jurnal ekubank, volume 3 eidisi november 2003
Rachmat Hendrayana dan Sjahrul Bustaman. 2007. Fenomena Lembaga Keuangan Mikro Dalam Perspektif Pembangunan Ekonomi Pedesaan. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Tekonologi Pertanian. Jl. Tentara Pelajar, 10 Bogor. 2007
Saptana, et al. 2003. Laporan kahir penelitian TA 2006. analisa kelembagaan kemitraan rantai pasok komoditas holtikultura. Pusat analisa sosial ekonomi dan kebijakan pertanian. Badan penelitian dan pengembangan pertanian. Departemen pertanian.
Saptana, et al. . 2003. Transformasi Kelembagaan Tradisional Untuk Menunjang Ekonomi Kerakyatan Di PedesaaN: Studi Kasus di Propinsi Bali dan Bengkulu.  Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, DEPTAN.
Shobba shetty. 2007. Produsen holtikultura dan pengembangan pasar swalayan di indonesia. Bank dunia. Jakarta. Indonesia. Juli 2007. departemen perdagangan republik indonesia.
Tim. 2002. Pengembangan akses informasi pasar. Direktorat jenderal bina pengelolaan dan pemasaran hasil pertanian. Departemen pertanian.
Tim.  2003. Kasus Sistem Penyuluhan di Sumatera Utara. Dalam Laporan Tahunan BPTP Sumatera Utara 2003. Hasil pengkajian dan diseminasi. Laporan Tahunan BPTP Sumatera Utara 2003.
Tim. 2004. Penelitian Tentang Pola Restrukturisasi Usaha Pertanian dan Usaha Kecil Pedesaan Serta Implementasi Terhadap Reposiis Kelembagaan Koperasi. 2004. Himpunan Abstrak Hasil Penelitian Koperasi dan UKM.
Waridin. 1999. Efectiveness of Implementation of Decentralisation Policy in Agricultural Extension: a Comparative Perseption of Extension Officer in Java, Indonesia. University Putra Malaysia. Doctor of Philoshopy.

Teori Konsumsi


Teori Konsumsi
Oleh: Suhadi Rembang      

Definisi konsumsi
Menurut Chaney (2003;54) konsumsi adalah seluruh tipe aktifitas sosial yang orang lakukan sehingga dapat di pakai untuk mencirikan dan mengenal mereka, selain (sebagai tambahan) apa yang mungkin mereka lakukan untuk hidup. Chaney menambahkan, gagasan bahwa konsumsi telah menjadi (atau sedang menjadi) fokus utama kehidupan sosial dan nilai-nilai kultural mendasari gagasan lebih umum dari budaya konsumen.
Menurut Braudrillard (2004;87), konsumsi adalah sistem yang menjalankan urutan tanda-tanda dan penyatuan kelompok. Jadi konsumsi itu sekaligus sebagai moral (sebuah sistemideologi) dan sistem komunikasi, struktur pertukaran. Dengan konsumsi sebagai moral, maka akan menjadi fungsi sosial yang memiliki organisasi yang terstruktur yang kemudian memaksa mereka mengikuti paksaan sosial yang tak disadari.
Definisi konsumsi menurut cara pandang durkemian adalah sebuah perilaku aktif dan kolektif, ia merupakan sebuah paksaan, sebuah moral, konsumsi adalah sebuah institusi. Ia adalah keseluruhan nilai yaitu berimplikasi sebagai fungsiinegrasi kelompok dan integrasi kontrol sosial.
Chaney menambahkan, gagasan bahwa konsumsi telah menjadi (atau sedang menjadi) fokus utama kehidupan sosial dan nilai-nilai kultural mendasari gagasan lebih umum dari budaya konsumen. Menurut Baudrillard, kita hidup dalam era di mana masyarakat tidak lagi didasarkan pada pertukaran barang materi yang berdaya guna, melainkan pada komoditas sebagai tanda dan simbol yang signifikansinya sewenang-wenang dan tergantung kesepakatan dalam apa yang disebutnya kode (Sutrino dan Putranto. 2005:262). Hal senada juga dikatakan oleh Tumenggung dimana pada saat ini telah terbentuk masyarakat konsumen, yaitu masyarakat di mana orang-orang berusaha mengafirmasi, meneguhkan identitas dan perbedaannya, serta mengalami kenikmatan melalui tindakan membeli dan mengkonsumsi sistem tanda bersama (dalam Sutrino dan Putranto. 2005:263).
Budaya konsumen menurut Featherstone yaitu hubungan penggunaan benda-benda dan cara-cara melukiskan status (Chaney, 2003:67). Dengan melakukan kosumsi, setiap orang akan membentuk gaya hidupnya. Gaya hidup menurut Chaney (2003;40) adalah pola-pola tindakan untuk membedakan antara satu orang dengan orang lain atau gaya hidup adalah seperangkat praktik dan sikap yang masuk akal dalam konteks tertentu.  Gaya juga diartikan sebagai cara-cara terpola dalam menginvestasikan aspek-aspek tertentu kehidupan sehari-hari dengan niali sosial atau simbolik; tapi ini juga berarti gaya hidup adalah bermain dengan idenitas. Masih dengan Chaney, gaya hidup juga dipandang sebagai proyek kreatif dan hal tersebut merupakan bentuk-bentuk pendeklarasian yang memuat penilaian-penilaian aktor dalam menggambarkan lingkungannya. 
Konsumsi dilihat dari kaca mata sosiologi menurut Braudrillard adalah pertukaran perbedaan yang mengokohkan persatuan kelompok. Dengan demikian perbedaan-perbedaan yang dikodekan sebaliknya menjadi alat tukar. Disitulah masalah mendasar dimana konsumsi didefinisikan;
1.      tidak lagi sebagai pratik fungsional objek kepemilikan, dan tidak lain-lain.
2.      tidakalgi sebagai fungsi sederhana prestise individual atau kelompok.
3.      tetapi sebagai sistem komunikasi dan pertukaran, sebagai kode tanda-tanda yang secara terus menerus disiarkan, diterima dan ditemukan lagi menjadi sebagai bahasa khas (language).

Braudrillard menambahkan, dengan cara pandang struktural, sistem konsumsi tidak didasarkan pada tingkatan terakhir pada kebutuhan dan kenikmatan, tetapi pada peraturan tanda (objek/tanda) dan perbedaannya.

      Asal-Usul Konsumsi
Menurut Braudrillard, asal-usul konsumsi dalam konstruk sistem industri adalah sebagai berikut;
1.      tatanan produksi menghasilkan mesin/kekuatan produktif, sistem teknik yang secara radikal berbeda dengan alat tradisional.
2.      Ia mengasilkan modal/kekuatan produktif yang masuk akal, sistem invetasi dan sirkukalasi rasional yang secara mendasar berbeda dengan “kekayaan” dan model perdagangan sebelumnya.
3.      Ia menghasilkan kekuatan tenaga kerja bergaji, kekuatan produktif yang abstrak, tersistematisasi, yang secara mendasar berbeda dengan pekerjaan nyata dan dengan pekerjaan tradisional.
4.      Terakhir  ia mrlahirkan kebutuhan-kebutuhan, sistem kebutuhan/kekuatan produktif sebagai kumpulan yang dirasionalisasikan, disatukan, diawasi, melengkapi tiga hal yang lain dalam proses pengawasan total dengan kekuatan produktif dan dengan proses produktif. Kebutuhan-kebutuhan sebagai sistem secara mendasar, juga berbeda dengan kesenangan dan kepuasan.

      Logika Sosial Konsumsi
Braudrillard (2004;ix) membahas tentang teori produksi dan objek yang didasarkan pada semiotika, yang mnekankan pentingnya nilai tanda dari objek-objek hasil konstruksi industri. Masih rendahnya pemahaman orang akan tanda-tanda yang kebanyakan tanda-tanda itu dikonsepsikan oleh beberapa kepentingan yang menjebak. Braudrillard mengatakan pada saat ini masyarakat hidup dalam bayang-bayang konsumsi merek, yang dipompa oleh sarana iklan. Braudrillard memandang bahwa tidak ada yang disebut dengan masyarakat berkecukupan; semua masyatakat mengkombinasikan ekses struktural dan kefakiran sruktural. Dalam memandang perumbuhan, Braudrillard cenderung memaknai bahwa pertumbuhan diperlukan untuk membatasi gerak orang-orang miskin dan memelihara sistem. Konsumsi dipandang sebagai perilaku kolektif  (Durkhemian), sesuatu yang dipaksakan, satu moralitas, institusi dan seluruh sisen nilai. Dengan tegas Braudrillard berpendapat bahwa konsumsi yang berlebihan dan tidak bergunalah yang memungkinkan orang dan masyarakat merasa bahwa ada, bahwa mereka sepenuhnya hidup. Dalam tataran sosial, ada dua tatanan sosial yang saling terkait, yaitu tatanan produksi dan tatanan konsumsi.
Braudrillard mengatakan pada saat ini masyarakat memiliki logika konsumsi. Menurutnya, logika sosial konsumsi tidak akan terfokus pada pemanfaatan nilai guna barang jasa oleh individu, namun terfokus pada produksi dan manupulasi sejumlah penanda sosial. Komoditas tidak lagi dipandang didefinisikan berdasarkan kegunaannya, namun berdasrkan atas apa yang mereka maknai. Dan apa yang mereka maknai didefinisikan bukan oleh apa yang mereka lakukan, melainkan hubungan mereka dengan seluruh sisemkomoditas dan tanda. Dalam masyarakat yang memiliki logika konsumsi, statusnya di bagi menjadi tiga, yaitu pengausa tanda atas kode dan kelas menengah dan kelas bawahlah yang merupakan konsumen sejati karena mereka tidak memiliki pernguasaan seperti itu.
Braudrillard, perubahan objek dan perubahan kebutuhan terjadi karena terjadinya perubahan makna. Braudrillard menyebutnya terjadi mitologi rasionalis terhadap kebutuhan dan kepuasan. Dalam logika tanda, seperti logika simbol-simbol, objek-objek tidak lagi dihubungkan dengan dungsi atau dengan kebutuhan yang nyata. Dengan logika tanda, objek atau barang akan menciptakan kenyamanan, prestise dan lain-lain. sehingga pada saat itu terjadi perubahan kebutuhan yang memunculkan keinginan. Dengan perubahan keinginan itu, menurut Braudrillard, mereka akan lebih berarti. Menurut Braudrillard, tubuh saat ini telah menjadi penanda status sosial. Nilai tubuh menjadi fungsional artinya bukan lagi daging dalam pandangan religius, bukan kekuatan kerja dalam logika industri, tetapi dikembalikan dalam sifatnya (atau dalam identitas yang tampak) sebagai objek dari pengagungan narasis atau unsur taktis dan unsur ritual sosial, kecantikan dan erotisme adalah dua rumusan utama yang sering muncul.

      Analisis konsumsi
Menurut Braudrillard, proses konsumsi dapat dianalisis dalam perspektif dua aspek yang mendasar, yaitu;
1.      sebagai proses signifikansi dan komunikasi, yang didasarkan pada peraturan (code) dimana praktik-paktik konsumsi masuk dan mengambil maknanya. Disini konsumsi merupakan sistem pertukaran, dan sepadan dengan bahasa. Pembahasan strukturallah yang bisa memasuki tingkatan ini.
2.      sebagai proses klasifikasi dan deferensiasi sosial, dimana kali ini objek-objek/tanda-tanda ditasbihkan buakn hanya sebagai perbedaan yang signifikan dalam satu kode tetapi sebagai nilai yang sesuai (aturan) dalam sebuah hierakhi. Disini konsumsi dapat menjadi objek pembahasan strategis yang menetukan kekuatan, kehususnya dalam distribusi nilai yang sesuai aturan (melebihi hubungannya dengan pertanda sosial lainnya: pengetahuan, kekuasaan, budaya dan lain-lain).

Daftar pustaka:  
Braudrillard, Jean. 2004. Masyarakat Konsumtif. Yogyakarta. Kreai Wacana.