Rabu, 21 Desember 2011

Musik dan Rekayasa Sosial

Studi Pembangunan Karakter Pada Siswa SMA di Indonesia

Musik menjadi intrumen dalam segala hal (Sumber: Ilustrasi)

Oleh: Suhadi Rembang

Musik merupakan produk dari lembaga sosial di bidang kesenian. Keberadannya memiliki peranan penting dalam membangun harmoni dinamika sosial. Ketegangan urat saraf hingga kekerasan fisik dalam proses interaksi sosial, mampu diredam hingga dikendalikan oleh suatu alunan nada yang penuh dengan pesan cinta kasih yang mendalam. Musik hadir tanpa mengenal batas. Mulai dari masyarakat tradisional hingga modern, musik acapkali dijadikan ikon dalam pentas-pentas sosial. Musik selalu hadir dan menyatu dalam upacara ritus sosial. Diversitas ruang lingkup dari keberadaan suatu musik, tentu saja kehadiran musik dapat berfungsi membangunan karakter suatu anggota masyarakat. Siswa sebagai bagian dari anggota masyarakat yang masih dalam proses membangun karakter, sangat relevan jika musik digunakan untuk merekayasa karakter unggul para siswa Indonesia. Langkah awal yang perlu dilakukan adalah menyusun karakter unggul apa saja yang diperlukan di kehidupan sosial dan lingkungan di masa depan. Langkah selanjutnya adalah melakukan studi dokumen tentang karya-karya musik yang relevan dengan karakter unggul di masa depan. Jika langkah kedua ini menemui kendala dalam bentuk keterbatasan dokumen musik yang relevan, maka perlu dilakukan produksi musik yang memiliki muatan karakter unggul di masa depan. Langkah selanjutnya yaitu proses internaliasi karya musik kepada siswa. Dengan demikian, akan terbangun suatu karakter unggul masa depan pada diri siswa SMA Indonesia dikemudian.

Kata kunci: musik, rekayasan sosial, karakter unggul siswa

Jumat, 16 Desember 2011

Orang Tua Korupsi Anaknya Seks Bebas

Selamatkan Anak dari Korupsi (Sumber: Ilustrasi)
Oleh: Suhadi Rembang

Dalam suatu tatanan sosial yang ideal, memang tidak ada yang membenarkan bahwa korupsi dan seks bebas, itu benar. Korupsi dan seks bebas adalah perilaku salah. Namun kenyataannya, korupsi dan seks bebas malah diproduksi oleh suatu lingkungan sosial.

Artikel ini merupakan buah pengamatan tentang fenomena sosial korupsi dan sek bebas pada keluarga anak yang ada di bangku SMA. Saya memandang, dalam kasus-kasus tertentu, perilaku korupsi dan seks bebas telah dalam keadaan tindakan populer. Semoga artikel singkat ini mendorong kepekaan sosial akan berbagai permasalahan sosial yang ada. Terlebih dewasa ini, terjadi kemerosotan kepekaan sosial diantara kita.

Sebagai lembaga sosial yang bergerak di bidang pendidikan yang berperan mencerdaskan siswa, Sekolah Menengah Atas (SMA) juga berperan sebagai media interaksi sosial siswa untuk mencukupi berbagai kebutuhan selain kecerdasan.

Di lembaga SMA inilah, ada suatu legalitas pembenar bahwa para siswa saling berinteraksi satu sama yang lain, adalah suatu keniscahyaan. Hubungan siswa satu sama yang lain inilah, kemudian menjadi pintu awal untuk saling mencukupi kebutuhan satu sama yang lain.

Memang pada awalnya, interaksi mereka memiliki dasar ideal. Mereka saling bertemu untuk saling meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan. Namun dalam perkembangannya, pola interaksi sosial yang memiliki pijakan dasar ideal ini, menyimpang. Hal ini dapat dilihat fenomena pacaran siswa SMA. Beberapa kasus dilapangan, fenomena pacaran anak SMA telah malampaui batas kewajaran. Dalam temuan di lapangan, hubungan seks acapkali mejadi perilaku yang diharapkan dalam pacaran mereka.

Proses interaksi sosial yang awalnya dilandasi dengan pijakan norma yang ideal, ternyata telah melampaui kaidah-kaidah sosial yang ada. Interaksi sosial antara mereka yang harusnya memacu peningkatan pengetahuan dan ketrampilan, telah digunakan untuk mencukupi kebutuhan kasih sayang yang melanggar norma sosial. Untuk itu, perlu dikembalikan pada konsep awal, bahwa intekasi sosial mereka harus memacu pada pengetahuan dan keterampilan kecerdasan.

Memang beberapa faktor bermunculan silih berganti dalam mendorong fungsi interaksi sosial siswa ke arah penyimpangan.

Media televisi bisa menjadi kitab suci para siswa dalam melakukan pacaran. Berbagai adegan pacaran didapat dari media televisi. Tiap-tiap keluarga yang telah memiliki televisi, seakan memberikan lampu hijau, bahwa pacaran merupakan hal yang wajar yang dilakukan oleh anak seusia SMA.

Selain media televisi, media yang tidak kalah hebatnya adalah handphone, khususnya handphone yang telah dilengkapi jaringan internet dan media pemutaran file film. Dengan alat teknologi dan informasi inilah, para siswa SMA mampu mengunduh dan memutar berbagai file film yang mengajari mereka untuk berpacaran secara menyimpang.

Namun media di atas hanyalah alat, bukan cara. Sehingga menjadi penting untuk didiskusikan adalah pelaku dari pacaran menyimpang itu sendiri. Terlebih media tersebut sangat dekat dengan sumber belajar dan teknik pembelajaran di sekolah dewasa ini.

Dalam sisi lain, proses interaksi sosial terbuka, dan didorong dengan televisi serta handphone inilah, sedikit banyak telah mengantarkan para anak-anak SMA berpacaran dengan menyimpang. Proses pengenalan tentang perilaku pacaran, terkesan cenderung tergesa-gesa. Sehingga anak-anak yang harusnya masih menikmati dua anak, harus menyelami perilaku sosial yang tidak harus dilakukan. Berangkat dari pintu inilah, kebutuhan akan kasih sayang cenderung mendominasi perilaku pacaran menyimpang.

Kebutuhan afeksi (kasih dan sayang) anak-anak, pada umumnya telah dipenuhi oleh keluarga. Namun pada saat ini, lembaga keluarga terkesan mengesampingkan perannya dalam mencukupi dalam memproduksi nilai-nilai kasih dan sayang. Lembaga keluarga pada saat ini telah disibukkan dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi para anggota keluarganya.

Orang tua dan penanggung jawab keluarga merasa bersalah, jika tidak mampu mencukupi kebutuhan ekonomi anggota keluarganya. Namun tidak merasa bersalah, jika tidak mampu mencukupi kebutuhan afeksi para anggota keluarganya. Mereka juga sepakat, materi lebih penting daripada kasih sayang hingga mengontrol perilaku dan prestasi akademik para anak-anaknya.

Perilaku orang tua dalam mencukupi kebutuhan ekonomi, tentu tidak serta merta terjadi begitu saja. Perilaku orang tua demikian karena adanya perubahan sistem ekonomi. Jika dahulu, sistem ekonomi cenderung berfungsi pada kesejahtaraan sosial. Namun sekarang berbeda, sistem ekonomi cenderung dimaknai sebagai kesejahteraan individual. Perubahan pandangan ini berangkat pada perubahan semangat sosial kekeluargaan ke arah semangat materialis individual.

Fungsi keluarga semakian hari semakin banyak. Selain fungsi ekonomi, juga fungsi afeksi, dan pengendalian sosial. Namun kenyataannya, tiga fungsi utama keluarga yang diharapkan oleh anak, tidak optimal. Kenyataan di lapangan, jika fungsi ekonomi berhasil, maka ada fungsi yang lain terabaikan.

Ironisnya, seorang anak belum dapat menerima kenyaatan itu. Anak usia SMA cenderung berharap bahwa orangtuanya mampu mencukupi kebutuhan afeksi dan ekonomi. Sehingga yang terjadi adalah adanya kekosongan ruang afeksi anak, dan rendahnya kontrol orang tua kepada anak, karena orang tua cenderung menghabiskan waktunya untuk ekonomi. Jika potret suatu keluarga dalam masyarakat demikian, maka yang terjadi adalah rendahnya kasih sayang dan kontrol sosial dalam suatu lingkungan sosial.

Keadaan ini masih ditambah dengan adanya perubahan orientasi perubahan sistem ekonomi dari pertanian menuju industri jasa. Jika sistem ekonomi pertanian suatu keluarga masih kental dengan ruang afeksi dan kontrol soaial, sebaliknya, dalam sistem ekonomi berbasis jasa, ruang afeksi dan kontrol sosial menjadi barang dagangan yang harus di jual belikan dengan sangat mahal.

Dengan demikian, orang tua menghadapi masalah ekonomi yang penuh dengan tantangan. Begitu juga anak-anaknya, mencari afeksi yang ditinggalkan peranannya oleh orang tua, dan disisi lain, terjadi rendahnya ruang kontrol yang terkesan bebas tanpa aturan.

Perilaku menyimpang pada ruang orang dewasa (orang tua) dan anak (siswa SMA) tidak dapat terhindarkan. Kedua-duanya saling mendapatkan sesuatu yang berlimpah. Materi melimpah dan kasih sayang melimpah. Saat itulah terjadi suatu kondisi penyimpangan sosial yang diharapkan. Sehingga realitas korupsi dan seks bebas menjadi tontonan dalam keseharian sosial.

Dalam tatanan sosial yang ideal, memang tidak ada yang membenarkan bahwa korupsi dan seks bebas, itu benar. Korupsi dan seks bebas adalah perilaku salah. Namun kenyataannya, korupsi dan seks bebas malah diproduksi oleh suatu lingkungan sosial. Sungguh suatu realitas sosial yang pelik dan rumit.

Apa, siapa, dan bagaimana dalam mengatasi korupsi dan seks bebas pada anak-anak SMA, sudah saatnya untuk kita bicarakan dalam keluarga dan pertemuan-pertemuan lingkup lokal.

Pamotan, 17 Desember 2011

Selasa, 13 Desember 2011

Sumber Belajar dan Teknik Pembelajaran, Berantakan



Kehidupan anak di masa depan diramalkan penuh tantangan. Sekolah sebagai lembaga pendidikan hingga detik ini dipercaya untuk mempersiapkan masa depan anak. Untuk itu sekolah harus tampil mempersiapkan sumber belajar dan teknik pembelajaran untuk kebutuhan hidup masa depan anak. Namun kenyataan dilapangan, sumber belajar dan teknik pembelajaran yang digunakan oleh para pendidik di sekolah, didominasi oleh produk lawas dan terkesan ketinggalan zaman. Akankah para siswa di kemudian hari nanti akan mampu mengarungi hidup dengan senyuman, ataukah sebaliknya, mereka akan menjadi barang rongsokan yang siap dilindas dan terlempar dari dinamika zaman. Dalam artikel ini memuat tentang potret pengunaan sumber belajar dan teknik pembelajaran di SMA, ramalan produk yang dihasilkan, hingga siasat yang perlu dilakukan untuk mengantarkan para siswa untuk siap mengarungi hidup dimasa yang akan datang.

Jumat, 02 Desember 2011

Pelemahan pada Kegiatan Akademik:

Catatan Akhir Tahun Tentang Program Kesiswaan SMA di Indonesia

Budaya membaca anak (Sumber: Ilustrasi)
Oleh: Suhadi Rembang

Tradisi struktural di SMA, bidang kesiswaan selalu didominasi dengan program kegiatan seni dan olahraga. Padahal, menurut Peraturan Mendiknas RI No. 3p tahun 2008 tentang Pembinaan Kesiswaan, bidang kesiswaan seharusnya didominasi oleh program kegiatan peningkatan akademik. Beberapa titik rawan kegiatan juga ditemukan dalam materi pembinaan kesiswaan pada point empat ini. Kegiatan pembinaan kesiswaan SMA yang cenderung jalan di tempat ini, diduga kuat bahwa pihak sekolah sendirilah yang mengusung kemandulan ide dan kreatifitas pasca kelulusan.

Permendiknas No. 39 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kesiswaan memuat bahwa materi pembinaan kesiswaan meliputi: (1) Keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; (2) Budi pekerti luhur atau akhlak mulia; (3) Kepribadian unggul, wawasan kebangsaan, dan bela negar; (4) Prestasi akademik, seni, dan/atau olahraga sesuai bakat dan minat; (5) Demokrasi, hak asasi manusia, pendidikan politik, lingkungan hidup, kepekaan dan toleransi sosial dalam konteks masyarakat plural; (6) Kreativitas, keterampilan, dan kewirausahaan; (7) Kualitas jasmani, kesehatan, dan gizi berbasis sumber gizi yang terdiversifikasi; (8) Sastra dan budaya; (9) Teknologi informasi dan komunikasi; dan (10) Komunikasi dalam bahasa Inggris.

Selanjutnya, materi pembinaan kesiswaan pada point empat diterjemahkan dengan jenis kegiatan sebanyak sepuluh point, yaitu: (a) Mengadakan lomba mata pelajaran/program keahlian; (b) Menyelenggarakan kegiatan ilmiah; (c) Mengikuti kegiatan workshop, seminar, diskusi panel yang bernuansa ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek); (d) Mengadakan studi banding dan kunjungan (studi wisata) ke tempat-tempat sumber belajar; (e) Mendesain dan memproduksi media pembelajaran; (f) Mengadakan pameran karya inovatif dan hasil penelitian; (g) Mengoptimalkan pemanfaatan perpustakaan sekolah; (h) Membentuk klub sains, seni dan olahraga; (i) Menyelenggarakan festival dan lomba seni; dan (j) Menyelenggarakan lomba dan pertandingan olahraga.

Namun kenyataannya, jenis kegiatan yang dapat memacu adrenalin prestasi akademik, seni, dan/atau olahraga sesuai bakat dan minat ini, praktis hanya kegiatan pada nomor (i) dan (j) saja. Beberapa jenis kegiatan yang harusnya menjadi nyawa dari materi pembinaan point empat ini, lebih rajin untuk ditinggalkan.

Ada beberapa indikator penyebab mengapa para pembina kesiswaan di SMA lebih suka membina seni dan olahraga, bukan kegiatan akademik. Pertama, pembina kesiswaan di SMA memiliki riwayat akademik yang buruk. Kedua, kegiatan-kegiatan akademik memerlukan tingkat berfikir tinggi namun nilai profit rendah. Ketiga, visi dan misi pimpinan lembaga pendidikan yang didominasi oleh nuansa politik kekuasaan, bukan karir akademik yang mapan.

Riwayat pembina kesiswaan di SMA yang memiliki derajat mutu akademik rendahan ini, acapkali dipegang oleh guru yang suka kegiatan di lapangan. Guru yang demikian memang jauh dari impian masyarakat akan konsep guru profesional (akademik: penelitian).

Kegiatan-kegiatan akademik yang sarat berpikir namun memiliki nilai profit rendah, kecenderungan tidak dijalankan. Para pembina kesiswaan lebih suka menjalankan program yang tidak banyak mikir. Kegiatan seremonial lomba seni dan olahraga klasikal menjadi program kerja kesiswaan nomor wahid. Cukup membuat surat penugasan kepada siswa untuk lomba di akhir semester dan berangkat lomba pada suatu event/kegiatan di luar. Kegitan seni dan olahraga inilah yang acapkali menjadi pusat perayaan kegiatan kesiswaan. Sekolah yang menang dalam lomba seni dan olahraga, dialah yang dianggap sebagai sekolah unggulan. Pihak sekolahpun berani merogoh dana sekolah berlebih, untuk menjadi pemenang.

Visi dan misi pimpinan lembaga pendidikan yang didominasi oleh nuansa politik kekuasaan, bukan karir akademik yang mapan, juga menjadi tudingan kuat dari lemahnya kegiatan akademik dalam pembinaan kesiswaan. Pimpinan lembaga pendidikan cenderung sebagai incaran para guru yang tidak memiliki prestasi akademik yang mapan. Proses seleksi kepala lembaga pendidikan yang penuh dengan politik kekuasaan, cenderung menjadi pintu awal yang selanjutnya mencetak visi dan misi lembaga pendidikan yang jauh dari prestasi akademik. Ironisnya, kebijakan yang dituangkan dalam lembar anggaran belanja sekolah, kegiatan akademik selalu ditempatkan pada nilai anggaran yang paling rendah.

Dalam rangka menjalankan Peraturan Mendiknas RI No. 3p tahun 2008 tentang Pembinaan Kesiswaan, khususnya pada point empat tentang prestasi akademik, seni, dan/atau olahraga sesuai bakat dan minat, perlu dilakukan beberapa langkah terobosan sebaggai berikut. Pertama, menempatkan pembina kesiswaan di SMA yang memiliki riwayat akademik yang baik. Kedua, kegiatan-kegiatan akademik harusnya dipandang memiliki nilai profit tinggi. Ketiga, proses seleksi pimpinan lembaga pendidikan harus menyertakan karir akademik yang mapan yang jauh dari kepentingan politik kekuasaan.

Dengan melakukan tiga langkah tersebut, program pembinaan kesiswaan tentang prestasi akademik, seni, dan/atau olahraga tercapai dengan ideal.

Pamotan, 03 Desember 2011

Selasa, 29 November 2011

Politik Etis Gagal Total

Suatu telaah kritis tulisan Ricklefs dalam bukunya (terjemahan) yang berjudul “Sejarah Indonesia Modern 1200-2008”

Sampul Buku M.C Ricklefs (Sumber: Serambi)
Oleh: Suhadi Rembang[1]

Tulisan yang dimuat pada halaman 327 hingga halaman 351, terlihat jelas bahwa politik etis[2] yang didedahkan dari buah pikir para akademisi Belanda sebagai buah kasih dari Belanda kepada Indonesia (Jawa khususnya), gagal total. Tiga program unggulan yang dijalankan sebagai balas kasih[3] mulai dari program edukasi, irigasi, dan transmigrasi, menurut Ricklefs, hanya sebagai topeng (bahasa penulis) agar Belanda mendapatkan simpati dan nama baik, jika kelak harus hengkang dari tanah kepulauan ini. Gagalnya politik etis inilah yang menurut Ricklefs hanya sebagai zaman penjajahan baru. Terbukti, dalam catatan akhir Ricklefs, program politik etis hanya menjadi industri pergerakan sosial yang menentang hingga melawan keberadaan Belanda itu sendiri.

Kegagalan itu, menurut Ricklefs (2008), dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, lahirnya politik etis dibarengi dengan gerakan investasi global di Indonesia. Ricklefs memandang, apapun program dalam politik etis, nantinya tetap memiliki kepentingan profit. Hal tersebut kemudian dapat dilihat adanya kebijakan yang melebar, dari Jawa, meluas menjadi ke luar Jawa. Luar Jawa lebih menarik sebagai pusat politik etis karena daerah tersebut masih memiliki sumber daya alam yang luar biasa. Sedangkan jawa telah dalam keadaan rusak yang tentunya menyedot dana besar dari kas negara Belanda.

Kedua, adanya dua pandangan yang memiliki pusaran berbeda. Ada yang berpandangan politik etis harus mampu menumbuhkan kecerdasan dan kesejahteraan agar tercipta kemandirian sosial. Namun pusaran kedua berpandangan berbeda, dimana kecerdasan dan kesejaheraan tidak serta merta di berikan agar tercipta kemandirian sosial. Kasus ini dapat dilihat dengan program pendidikan yang tidak menggunakan bahasa pengantar lokal, mereka yang sekolah hanya anak-anak bupati, hingga penyumbatan aliran dana politik etis.

Ketiga, terjadinya pertarungan sturktur pada pemerintahan lokal (Indonesia), dimana para bupati dan pejabat pemerintahan lokal lainnya cenderung menguasai dan menimati porgram politik etis Belanda. Adapun sasaran masyarakat lokal, menjadi penonton dari luar.

Kegagalan politik etis itu kemudian, menurut Ricklefs, menjadi industri yang menghasilkan masalah-masalah sosial dan struktural. Transmigrasi hanya sebagai program mobilisasi buruh untuk menanam tanaman unggulan pasar internasional. Transmigrasi juga menciptakan kekaburan hubungan antar kepulauan yang tidak harmonis lagi karena adanya sentralisasi yang memihal pulau-pulau tertentu. Selanjutnya, program edukasi juga menghasilkan masalah baru. Masyarakat lokal harus menanggung biaya bangunan sekolah dan iuran sekolah sekaligus yang didirikan di desa-desa. Program edukasi ini kemudian semakin mencekik masyarakat desa. Mereka sedang dihantui busung lapar, namun untuk menjadi cerdas harus menggadaikan martabatnya agar anak-anaknya bisa sekolah. Begitu halnya dalam hal irigasi. Program ini hanya sebagai proyek irigasi yang mangkrak, yang tidak mampu mendulang kemandirian pangan di tiap-tiap desa.

Terlepas dari sisi kritis seorang Ricklefs dalam mengkritisi program politik etis yang gagal total itu, ada hal yang menarik yang patut kita cermati. Pertama, Ricklefs tidak memotret pemikiran pribumi akan pengaruhnya dalam melahirkan potilik etis. Mengapa Ricklefs hanya menampilkan pusaran pemikiran politik etis itu hanya dari sudut Belanda. Terlihat politik etis hanya memiliki relasi tunggal (Belanda). Kedua, Ricklefs dengan lugas membandingkan kegagalan politik etis Belanda di Indonesia dengan keberhasilan politik etis Amerika Serikat di Vietnam. Mengapa perbandingannya hanya Vietnam dan memiliki relasi dengan Amerika Serikat. Ricklefs juga tidak dengan lengkap memuat peranan kaum imperialis klasik hingga modern dalam menancapkan program politik etis pada daerah-daerah jajahannya. Tentu saja, tulisan Ricklefs ini mengundang tanya.

Tulisan Ricklefs tentang zaman penjajahan baru dapat kita jadikan bahan pelajaran untuk membangun Indonesia masa depan. Ricklefs telah memberikan pelajaran penting pada kita (bangsa Indonesia), dimana dalam menjalankan program pembangunan, harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Keberanian Ricklefs menuding Belanda dalam politik etis yang penuh dengan keragu-raguan akan data yang memuat hasil politik etis, jangan sampai kita tiru. Jangan-jangan banyaknya kasus kemiskinan pada diri kita ini, akibat dari keberlangsungan zaman penjajahan baru.

Sumber review: Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta. Halaman: 327 – 351. Ngaliyan, 25 November 2011 [1] Guru Sosiologi SMA Negeri 1 Pamotan, sedang studi lanjut di Pendidikan IPS PPs UNNES. [2] Politik etis berawal dari kritik yang dimuat oleh novel Max Havelar (1860) yang menuntut kebiadapan pemerintah Belanda dalam menciptakan penderitaan masyarakat Jawa (lihat hal, 37). [3] Saya tidak begitu sepakat dengan istilah balas kasih yang dicetuskan pada akademisi Belanda yang menaruh empati pada Indonesia. Istilah politik etis pun, saya melihat ada unsur eufimistis dan hiperbol. Adapun van Deventer menyebutnya sebagai “suatu utang kehormatan”. Apakah kita pernah dipandang terhormat. Lagi-lagi kita sedang dalam pangkuan hegemoni istilah.Bagaimana tidak, rakyat kita ini dipaksa untuk memperkaya Belanda, tetapi mengapa harus di balas dengan kasih. Jelas, paksa dan kasih adalah dua kutup yang berbeda. Adapun van Deventer menyebutnya sebagai “suatu utang kehormatan”. Apakah kita pernah dipandang terhormat. Lagi-lagi kita sedang dalam pangkuan hegemoni istilah.

Rabu, 16 November 2011

Mengenal Norma Sosial


Pendahuluan

Materi norma sosial saya berikan pada pertemuan kali kedua pada program tambahan jam mata pelajaran sosiologi. Harapan saya, materi ini sebagai sumber bacaan tambahan, mengingat para siswa yang telah memiliki beragam sumber belajar seperti buku paket,LKS, hingga buku catatan.

Tulisan singkat tentang mengenal norma sosial ini, memuat tentang; latar belakang munculnya norma sosial, definisi,/ konsep norma sosial, klasifikasi norma sosial, dan tantangan norma sosial pada masa depan.

Semoga tulisan singkat ini bermanfaat untuk para siswa.

Pembahasan

Latar belakang munculnya norma sosial

Sejak masyarakat sederhana ( tradisional ) hingga masyarakat komplek ( modern ) selalu menciptakan cara agar masyarakat dapat beradaptasi dengan lingkungan,berinteraksi antar sesame, dengan tujuan menggapai keteraturan sosial, pada masyarakat tradisional tentu saja tata caranya relative sederhana. Hal-hal yang selalu dilakukan berulang-ulang, dijadikan tata cara bersamahal-hal yang dijadikan tata cara bersama itulah yang kemudian dijadikan acuan aturan bersama pada masyarakat modernpun juga sama. Hanya saja, tata cara pada masyarakat modern lebih komplek.hal ini disebabkan adanya keragaman cara antara masyarakat satu dengan masyarakat yang lain.

Dengan demikian, norma sosial merupakan sesuatu yang ada, berkembang dan berfungsi, dan berubah berdasarkan ruang dan waktu keberadaan  masyarakat itu sendiri. Mengapa demikian? Karna norma sosial mereupakan tata cara hidup bermasyarakat dalam rangka menggapai keteraturan sosial.

Definisi / konsep norma sosial

Menurut Robert B. Cialdini (dalam bukunya Kuper and Kuper, 2010) memaparkan bahwa norma sosial memiliki dua konsep penting, yaitu norma umum dan norma harapan. Norma umum merupakan apa saja yang dilakukan kebanyakan orang. Norma ini juga diartikansebagai perbuatan efektif bagi mereka,dalamsituasi tertentu. Selanjutnya, norma harapan merupakan norma yang diinginkan dan disetujui untuk dilaksanakan oleh sebagian orang. Norma harapan biasa dengan penuh ganjaran ( hadiah ) atau dan hukuman sosial.norma harapan seringkali sebagai alat paksa untuk mengarahkan perbuatan manusia. Norma harapan juga digunakan untuk pertimbangan normative lainnya.



Klasifikasi norma sosial

Terdapat beberapa pendapat tentang klasifikasi norma sosial. Ada yang berpendapat bahwa klasifikasi norma sosial  meliputi ; Usage,Folkways,mores,custum, dan laws.ada juga yang berpendapat, klasifikasi norma sosial terdiri dari ; talkways mores dan hokum. Menurut pendapat pribadi saya, yang penting dikaji adalah  mengapa muncul klasifikasi norma sosial, bukan apa saja klasifikasi norma sosial. Untuk melihat dan mengetahui defisnisi tiap-tiap klasifikasi norma sosial, silahkan para siswa membuka LKS atau catatan kelas X mapel sosiologi semester pertama. Berikut ini akan saya sampaikan mengapa muncul klasifikasi norma sosial.

Tiap-tiap masyarakat mempunyai beragam cara untuk beradaptasi dengan alam, untuk berinteraksi antar sesama, guna terwujud keteraturan sosial. Wujud dari keteraturan sosial adalah terwujudnya kesejahteraan sosial dan keadilan sosial. Keinginan sejahtera dan adillah yang menentukan perkembangan norma sosial.

Para sosiolog berpendapat pada saat terbentuknya kelompok masyarakat pertama kali, tiap-tiap anggota masyarakat hanya ingin selamat dari marabahaya alam. Bagaimana cara hidup agar selamat, bagaimana cara bercocok tanam, hingga bagaimana cara memasak, merupakan hal yang penting. Keberlimpahan SDA dan keterbatasan SDM menjadi pendorong tiap-tiap kelompok masyarakat untuk menciptakan suatu cara. Tahap pertama inilah yang sering disebut Usage atau norma cara.

Cara yang telah dilakukan oleh sebagian banyak orang, disebut folkways ( pola kebiasaan ). Cara yang telah ditemukan , dijadikan pola prilaku kebanyakan orang. Hal-hal inilah yang sering disebut hal-hal yang lazim. Namun, cara yang telah digunakan sebagai pola kebiasaan itu, mengalami masalah. Dalam perkembangan ruang dan waktu, terdapat suatu cara yang tidak lagi cocok.

Dan berbagai macam cara hidup yang dijadikan pola kebiasaan, terjadi banyak penyimpangan, mengapa demikian? Karena folkways tidak memiliki sanksi yang tegas  dan tidak memiliki struktur kekuasaan yang dapat mengatur dari keberfungsian folkways itu sendiri.hingga kemudian,dalam perkembangan masyarakat, terciptalah suatu norma yang lebih tinggidari folkways yaitu mores.

Mores atau tata kelakuan memiliki esensi penting yaitu menjamin kesejahteraan sosial. Norma mores dilanggengkan oleh struktuk kekuasaan politik pada masyarakat yang ada sehingga berbagai cara yang digunakan untuk menata kelakuan sosial, dipertahankan dengan ancaman yang sangat keras, dan jika dilanggar pelaku akan menyesali dengan sangat. Namun dalam perkembangannya, morespun tidak mampu mengatur hubungan sosial yang semakin komplek. Terjadi banyak penyimpangan sosial, namun lemah sanksi sosial. Hal tersebut terjadi, karena terdapat proses perubahan yang tidak dapat dinafikkan lagi.struktur kekuasaan politik sosial tidak lagi mammpu mengatur sosial dalam mewujudkan kesejahteraan sosial. Hal ini terjadi karena semakin komplek kebutuhan sosial, menipisnya SDA, dan sebaliknya SDM yang semakin cerdashingga kemudian lahgirlah norma sosialyang saat ini kita kenal sebagai norma hokum ( LAW )/ hokum tertulis.

Hukum tertulis ini lahir ketika mores tidak lagi berdaya fungsi dalam menciptakan keteraturan sosial.hukum tertulis lahir dengan seperangkat yang legitimit. Hokum tertulis tidak lagi di legitimasi oleh struktur politik masyarakat local namun hokum tertulis dilegitimasi oleh Negara. Yanga membuat hokum tertulis adalah badan peradilan dan kepolisian. Jelas,  sanksi pada hokum tertulis inisangat-sangat jelas dan tegas.

Tantangan norma sosial pada masa depan

Ternyata berbagai macam aturan untuk mengatur bagaimana cara hidup di masyarakat , selalum mendapatkan  hambatan dalam menggapai keteraturan sosial lihat saja pada saat ini, banyak sekali hokum tertulis yang saling bertabrakan, banyak sekali hokum tertulis yang terkadang malahmenjauhkan masyarakat dari kesejahteraan dan keadilan sosial. Tidak sedikit dengan hokum tertulis, yang benar menjadi salah dan yang salah menjadi benar. Mengapa hal ini terjadi ? hal ini disebabkan adanya perubahan sosial, budaya dan lingkungan. Sebab-sebab tersebut juga menjadipenyebab dari tidak keberdayaan norma folkways dan mores.

Menurut saya tantangan hokum dimasa depan yaitu bagaimana menjaga dengan bersih dan menjauhkan kepentingan individu dan kelompok pada lembaga yang membuat hukum tertulis ( badan legislative ) dan penegak hokum tertulis ( lembaga peradilan dan kepolisian )

Penutup Refleksi

Indonesia memiliki keberagaman cara dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial. Tiap-tiap masyarakat di Indonesia , jelas memiliki perbedaan dalam menyelesaikan masalah. Untuk itu hokum tertulis menjadi solisi terbaik ( saat ini ) dalam hal mengatur tata cara hidup berbangsa dan bernegara, hingga tercipta keteraturan sosial yang terpenting, lembaga-lembaga Negara Indonesia harus memiliki moral dan mementingkan kepentingan bangsa dan Negara

Pamotan, 14 November 2011

Rabu, 19 Oktober 2011

Etika Masyarakat Pedalaman Dalam Pembangunan

Terbukanya pintu gerbang krisis mutlidimensional dapat dilihat diantaranya ledakan penduduk tidak terkendali, pemukiman semakin padat, banyaknya polutan di muka bumi, krisis air, pemanasan global, hingga kehidupan banyak mengalami tekanan/stress merupakan pertanda problem sosial dari proses pembangunan. Untuk itu perlu dilakukan refleksi dari tujuan pembangunan dan nilai-nilai dalam wacana pembangunan, yang didalamnya termaktub etika pembangunan agar pembangunan ini tidak serta merta gagal. Diversitas etika masyarakat pedalaman dapat dijadikan instrumen dalam meracik mentalitas pembangunan di Indonesia. Etika masyarakat Baduy misalnya; memegang teguh karakter sosial yang diversitas ini guna mengembangkan pilar-pilar nilai budaya nasional, skenario pembangunan ekologi yang ketat, ketahanan pangan, kemandirian gaya hidup, mengedepankan kepentingan masyarakat, fokus dalam menjalankan proyek-proyek, dan menjauhi transaksi politik ekonomi dan kekuasaan dalam pembangunan. Namun disisi lain terdapat gejala penghancuran etika masyarakat pedalaman dengan dalih pembangunan ramah lingkungan yang datang dari dalam dan luar. Suatu persolan penting yang patut kita dahulukan. 

Keyword: Etika Masyarakat Pedalaman, Pembangunan

Kualitas Soal UN Sosiologi Tahun 2011: sebuah studi dokumen

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui derajat kualitas butir soal ujian nasional mata pelajaran sosiologi tahun 2011. Beberapa pertanyaan penting yang hendak dijawab dalam penelitian ini diantaranya; perspektif teori dalam soal, Isu-isu klasik dan kontemporer, komposisi persebaran materi, relevansi indikator soal terhadap silabus, karakter soal yang tidak memerlukan penalaran tinggi, karakter soal yang memerlukan kemampuan berfikir kritis, karakter soal yang menuntut keterampilan pemecahan masalah, dan trend penulisan soal masa mendatang. Penelitian dengan pendekatan analisis dokumentatif ini mendapatkan dua temuan penting yaitu terdapat kecenderungan materi dan soal ujian nasional sosiologi tidak menekankan peserta didik untuk berfikir kritis dan berketerampilan pemecahan masalah.

Rabu, 15 Juni 2011

Etika Masyarakat Pedalaman Dalam Pembangunan


ABSTRAK

Terbukanya pintu gerbang krisis mutlidimensional dapat dilihat diantaranya ledakan penduduk tidak terkendali, pemukiman semakin padat, banyaknya polutan di muka bumi, krisis air, pemanasan global, hingga kehidupan banyak mengalami tekanan/stress merupakan pertanda problem sosial dari proses pembangunan. Untuk itu perlu dilakukan refleksi dari tujuan pembangunan dan nilai-nilai dalam wacana pembangunan, yang didalamnya termaktub etika pembangunan agar pembangunan ini tidak serta merta gagal. Diversitas etika masyarakat pedalaman dapat dijadikan instrumen dalam meracik mentalitas pembangunan di Indonesia. Etika masyarakat Baduy misalnya; memegang teguh karakter sosial yang diversitas ini guna mengembangkan pilar-pilar nilai budaya nasional, skenario pembangunan ekologi yang ketat, ketahanan pangan, kemandirian gaya hidup, mengedepankan kepentingan masyarakat, fokus dalam menjalankan proyek-proyek, dan menjauhi transaksi politik ekonomi dan kekuasaan dalam pembangunan. Namun disisi lain terdapat gejala penghancuran etika masyarakat pedalaman dengan dalih pembangunan ramah lingkungan yang datang dari dalam dan luar. Suatu persolan penting yang patut kita dahulukan.

Keyword: Etika Masyarakat Pedalaman, Pembangunan

A.    PENDAHULUAN

Meanstream pembangunan selalu mengedepankan akan besarnya pendapatan dari perilaku industri, besarnya tingkat pendapatan perkapita, besarnya angka kehidupan, besarnya tingkat pendidikan, besarnya penguasaan iptek, besarnya fasilitas di segala bidang, hingga besarnya kawasan urban yang menjadi impian sepanjang siang dan malam.

Namun perilaku sistem sosial yang terstruktur ini tidak disadari telah mengantarkan dimensi ruang dan waktu pada pintu gerbang krisis lingkungan yang setiap saat siap meluluhlantakkan barisan manusia beserta hasil rekayasa pembangunan yang terkesanarogan.

Tanda-tanda pintu gerbang krisis mutlidimensional dapat dilihat diantaranya ledakan penduduk tak terkendali, pemukiman semakin padat, banyaknya polutan di muka bumi, krisis air, pemanasan global, hingga kehidupan banyak mengalami tekanan/stress. Menurut Harrison (dalam Ufford, 2004:159) pembangunan yang berlangsung saat ini telah menjadi mesin pembangunan yang monolitis, yang hanya berorientasi pasar semata, yang siap menggulung dan menggilas siapapun yang mencoba merintangi. Pembangunan telah kehilangan muatan universal yang berorientasi pada kemanfaatan bagi kelangsungan hidup manusia dan masyarakat. Jika tidak diperhatikan, pembangunan yang berjalan dalam suatu negara, negara akan kehilangan esensinya sebagai pemegang kedaulatan dan pelindung warga negaranya seperti yang diungkapkan oleh Wibowo (2010:70) atau hingga lenyapnya negara adalah sebuah keniscayaan seperti yang diungkapkan oleh Ohmae (1995:79).

Sudah saatnya kita men-setup ulang etika pembangunan yang seakan sengaja kita butakan dan kita tulikan akan jeritan alam dan anak cucu kita sendiri. Dengan harapan terciptakan hasil pembangunan yang mamanusiakan manusia, bukan sebaliknya, hasil pembangunan yang mencelakakan masa depan manusia. Diversitas keagungan etika pembangunan yang dimiliki oleh masyarakat nusantara harus kita akui masih terbentang luas tanpa batas. Namun sayangnya kita enggan menggunakan apalagi menawarkan dalam kancah pergaulan global. Padahal studi Ufford (2004) membuktikan bahwa pembangunan merupakan selalu melibatkan moral yang bersifat global. 

Dalam tulisan ini memaparkan etika pembangunan dalam masyarakat pedalaman, tepatnya pada komunitas adat “Baduy Dalam”, Banten. Tulisan dengan pendekatan analitik interpretatif ini merupakan hasil fielwork penulis pada bulan Juni 2011 dan telah diawali dengan studi dokumentatif sejak bulan Mei 2011.

B.     PEMBAHASAN

Enam hal penting menjadi fokus perhatian penulis dalam membongkar etika masyarakat pedalaman sebagai bentuk sumbangsihnya dalam membangun diversitas mentalitas pembangunan Indonesia. Tulisan yang memuat manusia lintas waktu, politisasi ekologi, paku dan sandal jepit, tapal batas mobilitas, larangan cerai dan makan daging. Beberapa muatan tulisan tersebut sebagai sumber etika masyarakat pedalaman dan mentalitas pembangunan. Disisi lain etika pembagunan ini sedang dalam ancaman dari dalam dan luar melalui gerbang manisnya manisnya madu Baduy lebah hutan.

1.      Manusia Lintas Waktu

“manusia hendaknya tidak ikut arus global. Manusia Indonesia harus memegang teguh karakter sosial yang diversitas ini guna mengembangkan pilar-pilar nilai budaya nasional”

Masyarakat pedalaman Baduy mendiami lereng pegunungan Kendeng dengan luas wilayah sekitar 5.900 hektare atau 160 km sebelah barat Kota Metropolitan Jakarta.Secara administratif terletak di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten (BPS, 2010).
Orang Baduy itu bukan orang Sunda (Garna, 1987: 16-17, dalam Wahid, 2010: 99). Namun Blume (1822, dalam  Garna, 1993b:144; Permana, 2006: 26, Wahid, 2010:100) berpendapat lain, bahwa masyarakat Baduy adalah orang Sunda. Blume menegaskan orang Baduy berasal dari Kerajaan Sunda Kuno, yakni Pajajaran, yang bersembunyi ketika kerajaan Pajajaran runtuh pada awal abad ke-17 seiring pesatnya kemajuan kerajaan Banten Islam. Berbeda lagi menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5; Permana, 2006: 27, dalam Wahid, 2010: 100) bahwa Baduy adalah masyarakat setempat yang dijadikan mandala  (kawasan suci) secara resmi oleh raja.

Label Baduy terhadap orang-orang Kanekes ini berawal dari anggapan masyarakat luar (outgroup) yang mana mereka memiliki kebiasaan tidak beralas kaki dan pantang naik kendaraan seperti orang Badawi di Arab (Garna1993:50). Sebutan ini terlihat kabur, karena identitas Baduy yang disepadankan orang Badawi Arab hanya sebatas tradisi, bukan religi. Hal ini dapat dilihat orang-orang Kanekes tidak memeluk agama Islam, mereka mengaku beragama Sunda Wiwitan. Sistem religi inilah yang menyebabkan masyarakat Baduy memproteksi diri dari pengaruh modernisasi sekaligus menjadi pedoman perilaku orang-orang Baduy (Prawira, 2000:95). Sungguh sistem religi Sunda Wiwitan telah tampil menjadi religi alterternatif (subculture) ketika sistem religi besar telah gagal mengantarkan manusia dalam membangun dimensi sosial yang agung dan sejahtera.

Dengan demikian etika pembangunan yang dapat diambil dari paparan di atas yaitu dalam proses pembangunan, manusia hendaknya tidak ikut arus global. Manusia Indonesia harus memegang teguh karakter sosial yang diversitas ini guna mengembangkan pilar-pilar nilai budaya nasional.

2.      Politisasi Ekologi

“menciptakan skenario pembangunan ekologi yang ketat guna menciptakan kelestarian alam dan pendidikan mitigasi kebencanaan berbasis mikro/ lokal, namun tetap memberi ruang transaksi ekonomi ekologi ramah lingkungan”

Menurut Flitner (2009) kebijakan ekologi politik masing-masing negara berbeda tergantung skala  dan aspek keadilan yang dipertimbangkan.  Negara Amerika Serikat cenderung menetapkan kebijakan ekologi politik bersifat material justice karena lebih mempertimbangkan  aspek keadilan distribusi dan skala regulasinya. India cenderung menetapkan kebijakan ekologi politik  symbolic justice karena lebih mempertimbangkan keadilan distribusi dan skala keberartiannya atau kemaknaannya bagi masyarakat.  Sedangkan Indonesia cenderung menetapkan kebijakan ekologi politik procedural justice karena lebih mempertimbangkan aspek justice recognition dan skala regulasinya.

Namun dalam kasus etika pembangunan ala Baduy ini lain, dimana ekologi dikelola jauh dari sistem kapitalisme ekonomi global sebagaimana sebagai inti dari political economy (ekonomi politik) yang mengantarkan perspektif ekologi politik di kemudian hari. Politik ekologi Baduy tampil dalam garda terdepan dalam mengubur dalam-dalam akan tragedy of the commons (tragedi hak komunal) seperti yang diungkapkan olehGarrett Hardin (lihat, http://en.wikipedia.org/wiki/Tragedy_of_the_commons)Hak ulayat adalah nafas utama dalam pengelolaan hutan dengan kepemimpinan yang dikendalikan secara kolektif karena tiap-tiap kampung memiliki Pu’un dan Jaro. Dalam Hardin, kasus pengelolaan hutan ini sebagai common property. Namun, tambah Hardin, ketika terjadi trategi of the common, kemungkinan akan menjadi open access property (pihak swasta bisa memiliki), quasy property (milik pemerintah), kemudian privat property (milik pribadi).

Pola manajemen hutan sebagai hak ulayat persis seperti apa yang diungkapkan oleh Murat Arsel (2009: 13) dalam teori ekologi politiknyam, dimana pola-pola pengembangan sumber daya muncul dari interaksi antara sistem alam (misalnya kualitas, kuantitas, dan lokasi air) dan sistem sosial (misalnya penyebaran kekuasaan ekonomi, sosial, dan  politik di dalam suatu masyarakat).

Seperangkat perilaku orang Baduy tentu tidak populis dengan visi neo liberal yang digadang-gadang oleh arus pemangku pemerintahan global (termasuk Indonesia). Paradigma konservatism ala Baduy tentu berseberangan dengan kebijakan ekonomi global yang harus senada dari hulu hingga hilir dalam mendongkrak pendapatan nasional. Namun dalam sisi kualitas, seperangkat perilaku akan hubungan manusia Baduy dengan alam, telah tampil mengisi kekosongan kualitas pembangunan nasional yang menekankan pada etika dan menjunjung tinggi nilai-nilai humanitas, sebagai alternatif yang bersifat emansipatori. Hal ini dapat dilihat pada fenomena paku dan sandal jepit, jalan kaki dan tapal batas, larangan cerai dan makan daging, serta madu Baduy.

Etika pembangunan yang dapat diambil dari paparan di atas yaitu manusia Indonesia hendaknya menciptakan skenario pembangunan ekologi yang ketat guna menciptakan kelestarian alam dan pendidikan mitigasi kebencanaan berbasis mikro/ lokal, namun tetap memberi ruang transaksi ekonomi ekologi ramah lingkungan.

3.      Paku & Sandal Jepit

“dalam membangun, hendaknya tidak hanya mengedepankan bentuk luarnya saja”

Rumah panggung telah menjadi identitas dari bentuk rumah-rumah adat di Indonesia, termasuk rumah orang-orang Baduy, Kanekes. Setidaknya terdapat dua puluh satu yang penulis ketahui bahwa rumah adat di Indonesia bentuknya rumah panggung. Bentuk rumah panggung itu lebih aman dari dari gangguan alam dan binatang buas dan rumah tahan gempa/ bencana alam (DPU,2006: 17). Namun tidak banyak yang tidak menggunakan paku sebagai pasak modern yang digunakan sebagai pengkait agar rumah panggung dapat berdiri dengan kokoh. Rumah adat Baduy tak satupun komponen yang menggunakan paku.  Bahan-bahan lainnya seperti semen, batu bata, dan hingga perkakas dan perabot rumah tangga berbau teknologi tinggi, benar-benar tidak diberi ruang sedikitpun. Berbeda dengan rumah pada umumnya, terkesan sumber daya alam habis untuk melayani style rumah sebagai simbolisasi kelas sosial yang agung, padahal sebaliknya. Sungguh suatu sajian perspektif dalam membangun rumah yang sarat dengan pendekatan antroposentris.

Tata perilaku dalam membangun rumah yang demikian itu menurut penulis merupakan bagian dari rekayasa agar kawasan suci ini tetap terjaga. Lain hal jika larangan penggunaan komponen dan perkakas rumah itu diperbolehkan, jelas mereka (Baduy) akan lebih intens berinteraksi yang kemudian akan menghasilkan konsensus nilai tukar pada sumber daya alam yang ada. Ujung-ujungnya adalah perilaku transaksi eksplorasi sumber daya alam di kawasan Baduy yang nantinya menciptakan ketergantungan komoditas, hilangnya kemandirian, berubahnya kawasan secret menjadi kawasan profan, dan tidak ada lagi peran yang menciptakan alam lestari.

Orang-orang Baduy dalam berinteraksi dengan alam pantas disebut sebagai manunggaling tubuh dan alam. Hal ini dapat dilihat tidak satupun dari mereka yang menggunakan sandal jepit, apalagi sepatu. Apakah mereka tidak takut dengan duri semak belukar dan menginjak kotoran binatang? Pengalaman penulis dalam menyusuri antar perkampungan Baduy, tak satupun ditemukan kotoran binatang dan sedikit semak belukar di jalan setapak.

Tanpa menggunakan sandal jepit, anak muda Baduy tidak sedikitpun menampakkan diri dalam perubahan-perubahan biologis seperti yang ditunjukkan oleh Mead (1920, dalam Supardan, 2008:167) di Samoa, tanpa adanya pergolakan dan tekanan-tekanan psikologis. Berbeda dengan anak-anak muda sekarang yang selalu bergelimangan menggunakan mode dan merek sandal sebagai identitas kematangan psikologis sekaligus simbol jejaring kelas sosial. Tak sedikit dari mereka (anak muda sekarang) belum juga percaya diri, hingga mereka bersinggungan dengan cara pandang dan perilaku barat yang jelas-jelas menyimpang. Namun telapak kaki orang-orang Baduy menyimpan talenta keberanian dalam menaklukkan jalan terjal pegunungan dan ruwetnya rute di daerah urban. Ternyata orang-orang Baduy punya kegemaran mengunjungi rumah wisatawan yang pernah berkunjung di kawasan mandala ini.

Etika pembangunan yang dapat diambil adalah manusia Indonesia hendaknya tidak hanya mengedepankan bentuk luarnya saja. Paku dan sandal jepit adalah simbolisasi dari lifestyle. Gaya hidup inilah yang menjadi faktor penarik sekaligus pendorong dalam membentuk perilaku yang konsumtif yang mengancam sistem dan struktur pembangunan.   




4.      Tapal Batas Mobilitas

“mengedepankan kepentingan masyarakat, bukan etika pembangunan yang mengedepankan janji-janji (waktu) manis seperti mimpi di siang bolong namun kenyataannya gigit jari di waktu esok”

Dengan telapak kaki, mereka menembus dimensi ruang satu ke ruang yang lain. Jika pada umumnya orang-orang di dunia ini mengukur mobilitas fisiknya dengan ukuran jarak tempuh, orang Baduy lain. Mereka tidak dilarang melancong, bahkan mereka tidak memiliki tapal batas dunia luar mana saja yang boleh dikunjungi. Ukuran jalan kaki mereka dibatasi dengan  dimensi waktu, yang penting tidak menginap lebih dari dua malam. Menjadi pantangan dan mendapatkan sanksi bekerja diladang selama 42 hari tanpa dibayar dan hingga dikeluarkan dari ingroup Baduy, jika dilanggar. Tidak sedikit mereka yang mati karena menyimpan dalam-dalam kesalahan norma sosial.

Sungguh efektif kontrol sosial yang mereka bangun dalam menciptakan tatanan sosial. Rusaknya tatanan sosial dan alam seringkali dampak dari perilaku pendatang yang menetap di suatu daerah baru yang hanya dilandasi semangat material (Suhadi, 2011b). Sungguh suatu kontrak sosial yang patut kita amalkan dalam pergaulan global.

Menurut penulis, jalan kaki dan tapal batas dua malam memiliki tafsir yang mendalam dalam rangka aktualisasi jalinan kekerabatan. Selain konsep hubungan manusia dengan alam yang tidak boleh serakah, ikatan keluarga inti dan keluarga luas patut dicontoh dimana mereka tidak boleh meninggalkan istri, anak, dan kerabatnya lebih dari dua malam. Fenomena Baduy ini senada dengan tradisi suku Zuni di Meksiko yang sangat arif dan penuh dengan kasih sayang dalam berinteraksi dengan anak dan keluarganya yang menghasilkan nilai-nilai sosialisasi percaya diri dan selalu dapat dipercaya (lihat,http://infosos.files.wordpress.com/2011/01/dinamika-kebudayaan.pdf). Bahkan lebih dari itu, orang-orang Baduy lebih baik mati dari pada cerai dan poligami.

Etika pembangunan yang dapat diambil dalam paparan di atas yaitu manusia Indonesia hendaknya tidak hanya memiliki visi dan misi kapan suatu tujuan itu tercapai. Menjadi penting dalam pembangunan adalah mengedepankan kepentingan masyarakat, bukan etika pembangunan yang mengedepankan janji-janji (waktu) manis seperti mimpi di siang bolong namun kenyataannya gigit jari di waktu esok.

5.      Larangan Cerai & Makan Daging

“tinggalkan praktik pembangunan yang digelar saat ini penuh dengan transaksi politik ekonomi dan kekuasaan, serta hendaklah tidak menikmati hasil pembangunan yang berdampak merusak lingkungan alam dan sosial”

Orang Baduy tidak menjadi pengikut poliandri dan poligini. Monogami telah menjadi falsafah dalam membangun keluarga. Bahkan perceraian dipandang sebagai kematian. Sehingga kalau orang-orang Baduy ingin bercerai, syaratnya harus keluar dari ruang Baduy (sampai saat ini belum ada perilaku cerai). Keluar dari Baduy dimaknai putusnya hak dan peranan sosial budaya serta terhempasnya tubuh dari kawah suci ini.

Kondisi di atas jelas berbeda dengan tradisi kawin cerai yang ada pada masyarakat Sasak Lombok, dimana saat panen tiba banyak melakukan perkawinan tapi saat musim paceklik tiba banyak juga yang melakukan perceraian (Wahyudi, 2004:v). Hal senada juga demikian, dilaporkan Suhadi (2010:i) tentang perkawinan belia pada masyarakat pedalaman Rembang Jawa Tengah, tepatnya di desa Tegaldowo kecamatan Gunem, dimana janda lebih memiliki nilai tukar dari pada gadis yang masih perawan.

Tentu saja faktor penarik dan pendorong larangan cerai pada komunitas adat Baduy berhubungan erat dengan cara pandang, sikap, perilaku mereka terhadap alam dan lingkungan. Namun terlepas dari itu, perangkat sosial Baduy akan larangan cerai sebagai simbol dari laboratorium kejujuran, kesetiaan, dan kasih sayang. Tampaknya tiga kekayaan tersebut telah terkikis dalam pergaulan nasional dan globaldi era masyarakat digital (Suhadi, 2011a).

Selain larangan naik kendaraan, cerai, bersandal, orang-orang Baduy juga dilarang makan daging binatang berkaki empat. Lanscap kawasan mandala yang berbukit dan berlembah ini, tentu saja memerlukan energi tubuh yang cukup untuk digunakan berladang dan memikul hasil ladang dan buah-buahan dengan jalan kaki ke pasar yang ada di kecamatan Leuwidamar. Hasil dari penjualan itu digunakan untuk membeli ikan asin. Ikan asin memiliki kandungan protein tinggi. Pantaslah mereka memiliki energi luar biasa karena keseharian makan ikan, sayur, dan nasi yang bibit padinya asli dari produk lokal. Setiap Proses upacara rites hidup seperti upacara kelahiran, perkawinan, hingga kematian, masyarakat Baduy menggunakan ikan segar yang di beli dari pasar. Proses-proses rites hidup inilah yang kemudian menjadi ajang legalisasi perbaikan gizi (Joyomartono, 2006). Larangan memelihara hewan berkaki empat, menurut penulis juga berhubungan dengan kountur lahan yang berlembah dan berbukit. Jelas jika mereka memelihara hewan berkaki empat, tatanan lahan dan diversitas tanaman di kawasan mandala ini akan terancam.

Etika pembangunan yang dapat diambil dalam paparan di atas yaitu manusia Indonesia hendaknya fokus dalam menjalankan proyek-proyek pembangunan. Bukan sebaliknya seperti praktik pembangunan yang digelar saat ini penuh dengan transaksi politik ekonomi dan kekuasaan. Adapun larangan makan daging yang dimaksud adalah orang Indonesia hendaknya tidak menikmati hasil pembangunan yang berdampak merusak lingkungan alam dan sosial.


6.      Dibalik Manisnya Madu Baduy

Selain kain tenun, hasil kuliner alami komunitas adat Kanekes adalah Madu dari lebah hutan dipedalaman kawasan gunung Kendeng ini (jangan salah dengan gunugn kendeng yang ada di bantaran kayen, tempat sedulur sikep). Dengan madu inilah, masyarakat Baduy mencukupi kebutuhan gula sehari-hari selain gula aren produksi lokal. Madu Baduy diyakini dapat menumbuhkan semangat hidup yang positif dan terbebas dari marabahaya. Para pelancong, wisatawan, hingga peneliti selalu menyempatkan mencicipi manisnya madu dan membawanya ke daerah asal untuk oleh-oleh khas Baduy.

Namun dibalik manisnya madu dan indahnya guratan kain tenun yang penuh dengan simbolisasi konformitas itu, menyimpan nafas perilaku kapitalisasi yang tidak disadari berseberangan dengan semangat religi Sunda Wiwitan.  Ancaman konformitas ini dapat dilihat adanya praktik jual beli yang mana orang-orang Baduy telah mempraktikkan pola dan manajemen ekolomi global. pengalaman penulis, kain tenun Baduy yang ada di pemukiman Baduy lebih mahal dari pada kain tenun yang dijual di toko-toko sepanjang terminal leuwidamar. Bahkan orang-orang Baduy telah mencampur madu hutan dengan air gula yang dikemas seperti madu asli dari lebah hutan yang sakral. Tiap kali ada wisatawan datang, anak-anak muda dari “Baduy Dalam” selalu diturunkan dari gunung menjadi kuli panggul oleh pendamping ethnowisata, dengan membawakan berbagai perbekalan para penikmat etnowisata di lembah manusia lintas waktu ini.

Menurut penulis, fenomena dibalik manisnya madu Baduy ini adalah bagian dari ancaman korformitas dan rekayasa ekologi masyarakat pedalaman. Untuk itu perlu dilakukan review ulang program etnowisata masyarakat pedalaman secara nasional, sebagaimana suguhan etika masyarakat pedalaman dalam pembangunan.  Agar pembangunan tidak gagal dalam mewujudkan cita-citanya atau malah-malah menjerumuskan rakyat ke jurang kesengsaraan (Robertson: 1984, dalam Ufford, 2004).

C.    PENUTUP

Diversitas etika masyarakat pedalaman Baduy dapat dijadikan instrumen dalam meracik mentalitas pembangunan di Indonesia. Berdasarkan kajian di atas, etika masyarakat Baduy dalam pembangunan diantaranya;

1.      memegang teguh karakter sosial yang diversitas ini guna mengembangkan pilar-pilar nilai budaya nasional,
2.      skenario pembangunan ekologi yang ketat,
3.      ketahanan pangan,
4.      kemandirian gaya hidup,
5.      mengedepankan kepentingan masyarakat,
6.      fokus dalam menjalankan proyek-proyek, dan
7.      menjauhi transaksi politik ekonomi dan kekuasaan dalam pembangunan.
Namun disisi lain terdapat gejala penghancuran etika masyarakat pedalaman dengan dalih pembangunan ramah lingkungan yang datang dari dalam dan luar. Ditemukan terdapat praktik kapitalisasi madu lebah, kain tenun, dan eksplitasi kuli panggul dari generasi muda suku masyarakat pedalaman ini. Untuk itu diperlukan penataan ulang etnowisata pada masyarakat pedalaman (Baduy) pada khususnya dan etnowisata di Indonesia pada umumnya, tanpa mengesamping hak-hak ekonomi dan budaya mereka.


DAFTAR PUSTAKA

Arsel, Murat. 2009. Ekologi Politik Dimana Ekonominya? Dalam Jurnal tanah air 12 13 edisi oktober-desember 2009.
BPS Banten Dalam Angka. Dalam http://www.banten.bps.go.id/. Diunduh pada tanggal 13 Juni 2011.
DPU. 2006. Pedoman Teknis  Rumah  dan Bangunan Gedung  Tahan Gempa. Jakarta. Dirjen Cipta Karya. 
Garna, J. K. 1993. “Orang Baduy di Jawa: Sebuah Studi Kasus mengenai Adaptasi Suku Asli terhadap Pembangunan” dalam Lim Teck Ghee & Alberto G. Gomes (peny.). Suku Asli dan Pembangunan di Asia Tenggara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Mulyono Joyomartono. 2006. Pengantar Antropologi Kesehatan. Universitas Negeri Semarang Press. Semarang.
Mientje D.E. Roembiak. 2020. Status Penggunaan dan Pemilikan Tanah Dalam Pengetahuan Budaya dan Hukum Adat Orang Byak.  Jurusan Antropologi Universitas Cenderawasih). Jurnal Antropologi Papua. Volume 1. No. 2, Desember 2002
Ohmae, Kenichi. 1995. The End of The Nation State;The Rise of Regional Economies. New York. The Free Press.
Philip Quarles Van UffordAnanta Kumar GiriPe Mad (ed). 2004. Kritik Moral Pembangunan. Jakarta. Yappika.
Prawira, N. G. 2000. Kriya dan Rekahias Baduy: Bentuk, fungsi, motif, simbol, dan makna. Jurnal Seni Rupa dan Desain, (Online). (http://www.jurnal-opertis4.org/file/kopwil4-336.doc, diakses12 Juli 2011).
Suhadi. 2011a. Konselor Digital Dalam Perspektif Sosial: Sebuah Kado Spesial untuk Guru BK. Dalam http://www.slideshare.net/es_lodheng/konselor-digital-dalam-perspektif-sosial.Diunduh pada tanggal 12 Juni 2011.
_____. 2011b. Relasi Dinamika Sosial Masyarakat Pamotan. Dalamhttp://www.scribd.com/doc/57898009/Relasi-Dinamika-Sosial-Masyarakat-Pamotan. Diunduh pada tanggal 15 Juni 2011.
_____. 2010. Perkawinan Belia Dalam Perspektif Teori Dramaturgi. PPs Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. Universitas Negeri Semarang. Dalamhttp://www.scribd.com/doc/46467382/Perkawinan-Belia-di-Tegaldowo-Gunem-Rembang-Jawa-Tengah. Diunduh pada tanggal 12 Juni 2011.
Supardan, Dadang. 2008. Pengantar Ilmu Sosial, Sebuah Kajian Pendekatan Struktural. Jakarta. PT. Bumi Aksara
Wahid, Masykur. 2010. Sunda Wiwitan Baduy: Agama Penjaga Alam Lindung di Desa Kanekes Banten. Dalam Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) Ke – 10. Banjarmasin, 1 – 4 November 2010.
Wahyudi, Hamzan. 2004. Tradisi Kawin Cerai Pada Masyarakat Adat Suku Sasak Lombok Serta Akibat Hukum yang Ditimbulkannya (Studi di Kecamatan Pringgabaya Kabupaten Lornbok Timur). Masters thesis, Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.
Wibowo, I. 2010. Negara Centeng: Negara dan Saudagar di Era Globalisasi. Yogyakarta. Kanisius.
Wikipedia. 2011. Tragedy of the commons. Dalamhttp://en.wikipedia.org/wiki/Tragedy_of_the_commons. Diunduh pada tanggal 15 Juni 2011.