Minggu, 30 Januari 2011

Siasat Lulus UN Sosiologi 2011

Tadi pagi saya mengisi jam tambahan sosiologi di kelas xii ips 2 smapa. Sempat sebelum masuk saya ditegur salah satu siswa kelas xii ips 1 smapa, karena kemarin saya benar-benar lupa mengisi jam tambahan di kelas itu. Tentu saya langsung melempar senyum, mengklarivikasi, dan mohon maaf.

Pagi tadi saya memberi materi tentang strategi membuat soal un sosiologi. Materi ini saya pandang penting, karena siswa hingga saat ini hanya diberi materi sosiologi, tidak diberi ilmu tentang bagaimana membuat materi.Materi ini saya pandang penting, karena membangun mental siswa untuk berfikir satu langkah lebih maju. Jika siswa sekolah lain hanya bekajar materi, saya harap siswa smapa selain selesai dalam materi, juga menguasai teknik dan skenario pembuatan soal. Tentu ilmu yang saya sampaikan tadi pagi tidak pakem. Ilmu tadi pagi tidak ada buku referensinya. Tapi saya bela-belain belajar semalem suntuk dan bangun jam empat pagi untuk meneruskan bagaimana belajar membuat soal un sosiologi.

Sehari sebelumnya saya dapat dua lembar hasil statistik ketuntatasan siswa ips smapa tahun kemarin, yang isinya tentang kemampuan yang diujikan dalam pelajaran sosiologi. Dua lembar itu isinya tentang ketercapaian siswa dalam menyelesaikan soal yang jumlahnya 50 butir dengan kode soal A dan kode soal B. Lembaran tersebut saya dapatkan dari bu in yang telah mengikuti bedah skl un sosiologi dengan para guru se kabupaten rembang dengan pendamping dosen dari UNNES yang kebetulan dosen tersebut adalah dosen penguji skripsi saya saat di UNNES dahulu kala. Lembaran ini telah saya bagikan pada siswa kelas xi ips 2 smapa. Kepada yang berkenan, silahkan meminjam atau menghubungi pihak kurikulum smapa. Berikut beberapa langkah yang sempat saya sampaikan pagi tadi tentang siasat membuat soal UN sosiologi. Langkah-langkah ini hanya sebatas informasi yang kebenarannya belum dapat dipertanggungjawabkan. Berikut ulasan singkatnya.

Langkah-langkah mahir menyusun soal UN Sosiologi 2011
  1. memiliki SKL yang berlaku yang isinya tentang kemampuan yang diujikan sejumlah 50 butir soal dengan kode A dan kode B. Untuk SKL silahkan buka link ini http://sosiologismapa.blogspot.com/2011/01/skl-sosiologi-20102011.html. Soal dengan Kode A dan Kode B memiliki kesamaan akan kemampuan yang diujikan, namun setiap soal dibuat dengan deskripsi dan pilihan jawaban yang berbeda. Selanjutnya untuk kemampuan yang di ujikan pada kode soal A dan B dapat dilihat pada link ini http://sosiologismapa.blogspot.com/2011/01/kemampuan-yang-di-ujikan.html.
  2. memiliki materi sosiologi kelas x, xi, dan xii baik dalam bentuk buku catatan, buku paket, lks, dan berbagai sumber relevan lainnya.
  3. memiliki soal UN sosiologi minimal tiga tahun terakhir (tahun 2010, 2009, dan 2008).
  4. mencocokkan kemampuan yang diujikan dengan materi yang dimikili.
  5. melihat kata kerja pada setiap kemampuan yang dimiliki. berdasarkan data yang telah saya lihat, beberapa kata perintah (kata awal) dalam kemampuan yang diujikan diantaranya; mengidentifikasi, menjelaskan, menganalisis, menginterpretasi, dan lain-lain. kata perintah ini juga sama persis dengan apa yang ada pada SK (Standar Kompetensi) dan KD (Kompetensi Dasar) dalam silabus sosiologi. 
  6. mencari arti dari kata perintah tersebut dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) atau lihat arti dari kamus online misalnya http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/. ketik saja kata kunci tersebut agar anda jelas apa yang dimaksud dari kemampauan yang diujikan.
  7. menguasai materi pada setiap kemampuan yang diujikan. misalnya kemampuan yang diujikan "mengidentifikasi mobilitas sosial pada masyarakat majmuk seperti contoh yang disajikan". misalya setelah dilacak materi tentang mobilitas sosial dalam masyarakat majmuk yaitu mobilitas sosial vertikal dan mobilitas sosial horizontal, dan campuran. materi jenis-jenis mobilitas harus dikuasai beserta contoh-contohnya. teknik ini juga berlaku untuk semua materi yang ada pada kemampuan yang diujikan.
  8.  langkah selanjutnya yaitu anda mencoba untuk membuat suatu deskripsi yang pedomannya pada kemampuan yang diujikan. jika kemampuan yang diujikan itu berbunyi "mengidentifikasi mobilitas sosial pada masyarakat majmuk seperti contoh yang disajikan", maka anda perlu mencoba membuat soal yang isinya tentang deskripsi mobilitas sosial (soal cerita yang memuat jenis-jenis mobilitas sosial). untuk melihat contoh yang lebih gamblang, silahkan kroscek antara lembar kemampuan yang diujikan pada salah salah satu kode soal (misalnya Kode Soal A) dengan soal UN sosiologi kemarin.membuat soal deskripsi ini dapat dilakukan sendiri, dalam setiap kemampuan yang diujikan minimal ada tiga kategori soal, yaitu soal kesulitan tinggi, soal dengan tingkat kesulitan sedang, dan kesulitan rendah.
  9. dalam membuat soal tersebut, anda perlu memperhatikan isu-isu sosial terkini. siswa ips jangan enggan untuk melihat berita di tv, di koran, dan di internet misalnya berita di yahoo dan di google. (bagian tentang trend isu-isu sosial terkini ini, insyaallah akan saya tulis dalam artikel khusus pada kesempatan dan laman lain)
  10. lakukan perbandingan soal yang anda buat dengan soal UN sosiologi dalam tiga tahun terakhir.  bagaimana hasilnya.
  11. ujicobakan dengan teman-teman anda sekelas atau lintas sekolah. terlebih anda membuat kelompok diskusi soal un sosiologi. kelompok diskusi ini akan membantu anda. tentu kelompok tersebut dengan pendampingan guru sosiologi. jika telah diujicobakan, bagaimana respon dan tanggapan teman anda tentang soal yang anda buat. berbuatlah saling menukarkan soal sosiologi yang anda buat dengan teman-teman anda.
  12. tidak ada salahnya teknik ini anda gunakan pada mata pelajaran selain sosiologi, misalnya pada mata pelajaran geografi dan ekonomi (ilmu serumpun dalam ilmu-ilmu sosial). 
 Demikian artikel sederhana yang mengulas tentang siasat lulus UN sosiologi 2011. Semoga artikel ini dapat bermanfaat untuk meningkatkan kualitas pendidikan bangsa Indonesia dan siswa SMAPA jurusan IPS. Terimakasih.

Senin, 17 Januari 2011

Buku Seri Kliping Sosiologi Termutakhir

Oleh: Suhadi Rembang
  
Para pembaca buku “Seri Kliping Ensiklopedi Sosiologi”. Buku ini bersumber tunggal dari buku “Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial” pengarang Kuper, Adam  dan Kuper, Jessica Edisi 2, 2008. Kehadiran buku seri kliping ini dipandang mendesak karena penggunaan konsep-konsep materi dalam mata pelajaran sosiologi di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) cenderung tertinggal. Penggunaan konsep-konsep materi dalam sosiologi di SMA sebaiknya mengikuti irama perkembangan konsep-konsep sosiologi termutakhir. Dengan demikian para guru dan siswa tidak tertinggal dalam mengenal dan memahami konsep-konsep sosiologi yang nantinya menjadikan pijakan dasar dalam meningkatkan minat ilmuan sosial dan peran sosiologi di masyarakat secara aktual.

Buku seri kliping ensiklopedi sosiologi ini memuat tujuh puluh empat konsep sosiologi termutakhir. Kualitas tulisan (kliping) yang begitu ketat dari beragam guru besar disiplin ilmu sosiologi dan dari berbagai universitas terpercaya di kancah internasional ini disuguhkan. Kenapa tujuh puluh empat? Tujuh puluh empat merupakan jumlah konsep sosiologi terpilih yang teryakini “pengumpul” sangat relevan dengan materi sosiologi di bangku SMA kelas X, dan kelas XI serta kelas XII jurusan ilmu sosial.

Semoga buku seri kliping ini bermanfaat untuk para guru sosial, khususnya guru sosiologi, dan para siswa. Terlebih bagi pembaca yang meneguhkan minatnya pada kajian sosial budaya di kemudian hari.

Pengantar kata
Pamotan, 17 Januari 2011
Suhadi

Daftar Isi Kliping

1.       Alienation
2.       Anarchism
3.       Body
4.       Caste
5.       City
6.       Community
7.       Colonialism
8.       Conformity
9.       Comte, August
10.   Crime and delinquency
11.   Deviance
12.   Drug use
13.   Emile Durkheim
14.   Equilibrium
15.   Ethnicity
16.   Exchange
17.   Feminist theory
18.   Family history
19.   Feudalism
20.   Family
21.   Gender & sex
22.   Gangs
23.   Globalization
24.   Group
25.   Group dynamic
26.   Georg hegel
27.   Hierarchy
28.   Incest
29.   Labeling theory
30.   Legitimacy
31.   Marriage
32.   Modernity
33.   Migration
34.   Modernization
35.   Multicultural education
36.   Nationalism
37.   Norms
38.   Patriarchy
39.   Peasant
40.   Pornography
41.   Prestige
42.   Punishment
43.   Positivism
44.   Racism
45.   Reference group
46.   Role
47.   Religion and ritual
48.   Sociology
49.   Status
50.   Social network
51.   Social movement
52.   Social problem
53.   Social history
54.   Social class
55.   Social control
56.   Social identity
57.   Social conflict
58.   Social mobility
59.   Social science
60.   Social structure
61.   Stereotypes
62.   Stigma
63.   Stratification
64.   Structuralism
65.   Sub culture
66.   Suicide
67.   Symbolism
68.   Syncretism
69.   Terrorism
70.   Taboo
71.   Urbanization
72.   Violence
73.   Weber, Max
74.   Women


Suhadi. 2011. Seri: Kliping Ensiklopedi Sosiologi TUJUH PULUH EMPAT Konsep Termutakhir. Diperuntukkan Sebagai Buku Referensi Mata Pelajaran Sosiologi Kelas X, XI, DAN XII. Rembang. SMA Negeri 1 Pamotan. 

Keterangan: Buku Seri Kliping terkoleksi di Perpustakaan SMA N 1 Pamotan Rembang Jawatengah

Perkawinan Belia dalam Studi Terdahulu


Oleh: Suhadi Rembang 

Abstraksi

Studi terdahulu tentang perkawinan belia ini dipaparkan dengan tujuan untuk mengetahui posisi dari studi perkawinan belia sebelum dilakukan. Dengan demikian studi perkawinan belia yang dilakukan tetap memiliki derajat manfaat praktis dan teoritis. Studi pendahuluan ini juga dimaksudkan dalam bagian dari bahan penyusunan instrumen penelitian. Studi tentang perkawinan belia telah dilakukan oleh beberapa penulis sebelumnya. Beberapa studi terdahulu tentang perkawinan belia telah dilakukan dalam perspektif hukum, sosial, budaya, kesehatan/ biologis, ekonomi, pendidikan, psikologi, agama, geografis, dan perspektif kependudukan.

Studi terdahulu tentang perkawinan belia secara tematik sebagian besar didominasi pada faktor-faktor yang mendorong dan dampak dari perilaku perkawinan belia. Studi tersebut memuat tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perkawinan belia dari sisi tradisi, sosial, budaya, psikologis, fertilitas, dan usia kawin.

Studi terdahulu perkawinan belia juga telah dilakukan dari perspektif hukum. Studi hukum yang telah dilakukan diantaranya mengkaji tentang dokumen (undang-undang) tentang perkawinan belia, perbedaan masalah kawin pada wanita yang usia muda dan usia ideal, tiga sistem hukum yang melandasi perkawinan, dan asas-asas perkawinan perspektif hukum adat. Selanjutnya dalam perspektif demografi telah dilakukan yaitu tentang perkawinan muda di sepanjang pantura, dan kematian balita dalam keluarga nikah belia. Perkawinan belia juga telah dilakukan dalam fokus di bidang kesehatan (biologis dan psikologis) khususnya tentang dampak biologis dan psikologis nikah belia. 

Dalam perspektif pendidikan, studi perkawinan belia yang telah dilakukan mengkaji tentang pendidikan mempengaruhi  sikap terhadap besarnya keluarga ideal dan nilai anak, serta perbedaan jumlah anak pada wanita dengan tingkat pendidikan menengah dan sekolah dasar. Begitu pula dalam perspektif agama, Studi terdahulu diantaranya tentang legalisasi agama dalam perkawinan belia. Kemudian yang terakhir dalam perspektif sosial budaya, studi yang pernah dilakukan yaitu tentang nilai anak dalam keluarga, dan reproduksi makna nikah belia.

 
Studi perkawianan belia dilakukan Puspitasari tahun 2006. Dalam studi tersebut mengkaji tentang faktor- faktor apa saja yang mendorong perkawinan usia muda, bagaimana dampak yang dialami oleh mereka yang melangsungkan perkawinan usia muda, serta bagaimana bentuk pola asuh keluarga pasangan usia muda di desa Mandalagiri kecamatan Leuwisari kabupaten Tasikmalaya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab terjadinya perkawinan di usia muda dipengaruhi oleh berbagai macam faktor-faktor yang mendorong mereka untuk melangsungkan perkawinan di usia muda diantaranya; faktor ekonomi, faktor pendidikan, faktor orang tua, faktor diri sendiri, serta faktor adat setempat. Terjadinya perkawinan usia muda di Desa Mandalagiri Kecamatan Leuwisari Kabupaten Tasikmalaya ini mempunyai dampak tidak baik terhadap mereka yang telah melangsungkan pernikahan juga berdampak pada anak-anak yang dilahirkannya serta masing-masing keluarganya.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua pekawinan di usia muda berdampak kurang baik bagi sebuah keluarga karena sedikit dari mereka yang telah melangsungkan perkawinan diusia muda dapat mempertahankan dan memelihara keutuhannya sesuai dengan tujuan dari perkawinan itu sendiri. Hasil temuan dilapangan bahwa pola asuh demokratis lebih mendorong anak menjadi mandiri dan berprestasi di bandingkan dengan anak diasuh dengan cara otoriter. Hasil pola asuh pada pasangan muda ini untuk masing-masing pengasuh adalah pola asuh demokratik. Dengan pola asuh demokratik ini orang tua tidak mengekang pada anak- anaknya dan memaksakan kehendaknya pada anak-anaknya, sebaliknya mereka memberikan kepercayaan penuh terhadap anak-anaknya untuk bisa menjalani kehidupan dimasa yang akan datang.
Penelitian Wahyudi tahun 2004 mengulas tentang bagimana sesungguhnya pelaksanaan perkawinan pada masyarakat adat suku Sasak Lombok. Dalam penelitiannya, Wahyudi menitikberatkan pada faktor-faktor yang menyebabkan perceraian dan akibat-akibat hukum yang ditimbulkan dari tradisi kawin cerai.
Dalam penelitian Wahyudi menemukan bahwa faktor penyebab kawin cerai terdapat enam faktor. Pertama, faktor kebudayaan dengan adanya tradisi merari'. Tradisi merari' yaitu apabila seorang laki-laki ingin melakukan perkawinan maka perempuan yang mau diajak kawin harus dilarikan terlebih dahulu dan hal ini merupakan tindakan yang legal secara adat. Dari data yang ditemukan hampir 58% perkawinan yang di lakukan di bawah tangan sehingga perkawinan mereka tidak  dicatatkan. Hal ini juga didorong oleh adanya kawin musiman yaitu saat panen tiba banyak melakukan perkawinan tapi saat musim paceklik tiba banyak .juga yang melakukan perceraian. Kedua, tingkat pendidikan masyarakat yang sangat kurang. Dari basil penelitian masyarakat yang banyak melakukan perceraian adalah mereka yang pendidikannya rendah bahkan tak pernah sekolah. Ketifa, tingkat kawin muda yang cukup tinggi jumlahnya. Empat, yaitu faktor agama yang mempermudah perceraian yaitu cukup dengan menyatakan keinginan bercerai oleh pihak si laki-laki kepada pihak si wanita maka jatuhlah talak mereka. Kelima, faktor ekonomi masyarakat Lombok banyak yang menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia) keluar negeri sehingga isteri yang tak tahan menunggu kawin lagi dengan orang lain.
Dalam studi Boedirochminarni tahun 2001 tentang faktor-faktor yang berhubungan terhadap perkawinan wanita muda usia di pedesaan. Penelitian Boedirochminarni ini bertujuan untuk mengetahui perkawinan pada wanita muda usia di pedesaan ditinjau dari kehidupan sosial budaya. Faktor sosial budaya yang dikaji diantaranya meliputi pendidikan, adat istiadat, dan norma agama.  Penelitian ini juga untuk mengetahui perkawinan pada wanita muda usia di pedesaan ditinjau dari faktor ekonomi; meliputi: tingkat kemiskinan orang tua, jenis pekerjaan orang tua. 3) Untuk mengetahui perkawinan pada wanita muda usia di pedesaan ditinjau dari faktor fisiologis; meliputi usia pertama menstruasi. 4) Untuk mengetahui perkawinan pada wanita muda usia di pedesaan ditinjau dari faktor psikologis. Adapun faktor psikologis yang dikaji meliputi usia pertama tertarik dengan lelaki pujaan. Penelitian dengan pendekatan kuantitatif ini menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang berhubungan terhadap perkawinan wanita muda usia di pedesaan, khususnya di desa Sumberejo adalah faktor ekonomi sebanyak 14 (35 %); kedua adalah faktor sosial budaya sebanyak 12 (30 %), ketiga adalah faktor fisiologis sebanyak 7 (17,5 %), dan keempat adalah faktor psykologis sebanyak 5 (12,5 %).
Dalam studi yang dilakukan oleh Hidayati tahun 2007 tentang faktor-fakotr yang berhubungan dengan perkawinan usia muda dengan pendekatan komparasi hasil dengan studi meta analisis. Hasil penelitian menyebutkan bahwa 50,6% responden kawin muda, mayoritas hanya berpendidikan dasar, berpengetahuan baik tentang perkawinan, tidak bekerja sebelum menikah, memiliki pendapatan kurang dari rata-rata pendapatan responden, dan dibesarkan dilingkungan yang rata-rata usia kawin kurang dari 20 tahun. Uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan pengetahuan (X2=7,177, p value 0,007), status bekerja responden (X2=5,733, p value 0,017), status bekerja suami responden (X2=4,901, p value 0,027), dan adat istiadat (X2=4,729, p value 0,030) dengan perkawinan wanita usia muda, sementara tidak ada hubungan pendidikan dan pendapatan keluarga dengan perkawinan wanita usia muda. Dari meta analisis diperoleh hasil 75% pendidikan berhubungan, 100% pengetahuan berhubungan, 100% status bekerja responden berhubungan, 25% pendapatan keluarga berhubungan, 50% adat istiadat berhubungan dengan perkawinan usia muda.
Banyak faktor yang terkait dengan fertilitas, terutama di Indonesia, terdapat tiga faktor yang harus mendapat perhatian, yaitu : (1) penggunaan kontrasepsi modern, (2) praktek pembatasan kelahiran secara tradisional, dan (3) perubahan pola perkawinan (Singarimbun, 1986:2).
Studi tentang faktor yang mempengaruhi usia kawin juga dilakukan oleh Widiyastutik pada tahun 2005  di kecamatan Gunungpati kota Semarang. Dalam studi Widiyastutik dengan pendekatan kuantitatif ini menyimpulkan bahwa dilihat dari segi umur, mereka menikah sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan, sementara itu mereka menikah pada umur 23 tahun bagi laki-laki dan 20 tahun bagi perempuan. Dilihat dari segi pendidikan sebagian besar pendidikan suami dan istri adalah tamat Sekolah Dasar (SD). Dilihat dari segi pendapatan, rata-rata pendapatan keluarga yaitu sebesar Rp 901.614 per bulan. Pandangan orang tua terhadap usia kawin laki-laki adalah 28 tahun dan perempuan adalah 22 tahun.
Kajian pernikahan belia juga dilakukan oleh Hasibuan tahun 2010. Hasibuan mengkaji bagaimana peran UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam mencapai tujuan pernikahan itu, dan bagaimana pula UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyikapi hak-hak anak yang tidak terpenuhi. Dalam kajian dokumentatif, Hasibuan menemukan suatu kejelasan dan sinkronisasi di antara UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak maupun UU yang terkait dengan penetapan umur pernikahan ini, maka tujuan pernikahan bisa tercapai serta tanpa mengesampingkan juga hak-hak anak. Idealnya, menurut Hasibuan, dalam melakukan perkawinan itu sudah mempunyai tiga unsur yaitu kemampuan biologis, ekonomis dan psikis. Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
Dalam penelitian Yuliana tahun 2006 tentang beberapa masalah yang timbul antara wanita yang kawin muda dengan wanita yang kawin di usia ideal. Dalam penelitian tersebut, Yuliana menemukan beberapa perbedaan antara lain; masalah kelahiran anak pertama, masalah sosial ekonomi, dan masalah perceraian antara wanita yang kawin muda dengan wanita yang kawin di usia ideal. Penelitian tersebut tidak menemukan adanya perbedaan masalah baik dari sisi kelahiran anak pertama, masalah sosial ekonomi, dan masalah perceraian antara wanita yang kawin muda dengan wanita yang kawin di usia ideal. Hanya saja Yulina dalam akhir laporan memberikan rekomendasi dalam peelitian lanjutan diadakannya penelitian pada usia perkawinan yang lebih lama yaitu lebih dari tiga tahun serta menambahkan variabel masalah kependudukan.
Studi yang dilakukan oleh Purnami tahun 1992 tentang perkawinan usia muda dan kaitannya dengan kematian balita. Studi kuantitatif ini dilakukan di desa Cermo kecamatan Sambi kabupaten Boyolali. Dalam studi itu ditemukan bahwa ada kaitan antara perkawinan usia muda, kondisi sosial ekonomi, kecuali lama pendidikan responden, program pelayanan kesehatan ibu dan anak, serta perilaku budaya, berkaitan dengan kematian balita.
Studi dokumentatif tentang tinjauan hukum Islam terhadap faktor-faktor penyebab perkawinan usia muda dan implikasinya. Studi ini dilakukan di masyarakat Bulungihit kabupaten Labuhan Batu, Sumatra Utara. Hasil penelitian yang penyusun temukan bahwa kasus perkawinan usia muda yang terjadi di masyarakat Bulungihit kebanyakan disebabkan oleh faktor adat, tradisi dan budaya setempat. Adapun akibat perkawinan usia muda lebih banyak menimbulkan dampak yang negatif dari pada positif.
Dalam studi yang dilakkan Pamungkas dkk tahun 2006 tentang perkawinan usia muda dengan fokus penelitian tentang jumlah anak dan fertilitas pada  masyarakat nelayan Kalisari,  Surabaya. Beberapa pasangan  menikah pada usia muda dan telah dikaruniai anak, namun demikian mereka yang memilih kawin usia  muda, baik karena keinginan sendiri ataupun karena perintah orang tua, telah sadar bahwa sekarang sudah bukan jaman “banyak anak banyak rejeki” seperti  dulu lagi. Mereka telah sadar bahwa anak memberikan manfaat yang lebih ke arah positif dan untuk pemenuhan kebutuhan sangat sulit. Tanpa dapat dipungkiri bahwa biaya membesarkan dan pemeliharaan anak sangat mahal, bukan  dengan maksud bahwa anak adalah beban finansial. Proses modernisasi menyadarkan bahwa kebutuhan anak bukan hanya  makan dan rumah, akan tetapi juga pemenuhan kebutuhan sosial. 
Menarik apa yang dilakukan Nazaruddin tahun 1998 dalam penelitiannya tentang makna kawin muda dan perceraian upaya memahami masalah sosial dan perspektif penyandang masalah. Dalam penelitian tersebut Nazaruddin mengkaji sejauh mana peristiwa kawin muda dan perceraian terjadi di Indramayu serta mengapa daerah Indramayu kerapkali diidentikkan dengan daerah kawin cerai, serta untuk mengetahui apakah perkawinan usia muda dan perceraian menurut masyarakat Indramayu adalah merupakan masalah sosial atau bukan masalah.
Dalam penelitian tersebut menyimpulkan bahwa masalah sosial kawin muda dan perceraian ditafsirkan oleh informan sebagai suatu masalah sosial yang perlu dihindari. Akan tetapi terdapat informan yang menafsirkan makna kawin dan bercerai di usia muda sebagai suatu solusi/alternatif pemecahan masalah. Konsekuensinya di antara mereka ada yang melaksanakan perkawinan dan perceraian di usia muda. Walaupun demikian perkawinan usia muda dan perceraian itu sendiri bukanlah kebiasaan atau bahkan budaya mereka karena peristiwa itu hanyalah hasil kompromi anggota masyarakat yang menjadi informan dengan masalah yang dihadapi pada saat itu. Oleh karena itu makna kawin muda dan perceraian itu sendiri terus menerus disempurnakan sesuai dengan dinamika kemampuan berpikir mereka.

Perkawinan Dalam Perspektif  
Perkawinan memiliki berbagai variabel, yaitu: (1) jenis perkawinan; (2) usia kawin; (3) hidup selibat; (4) hidup menjanda; dan (5) perceraian dan perpisahan (McDonald, 1990:79-91). Setiap varibel perkawinan memiliki pengaruh, baik langsung maupun tidak, terhadap fertilitas.
Langkah-langkah pertama kali memasuki masa perkawinan di dasari oleh perasaan berikut:
A.    rasa tertarik;
B.     rasa ingin bersama;
C.     saling memelihara (meliputi rasa saling membagi dan membutuhkan);
D.    kerukunan; dan
E.     cinta (Shelton dan Thrrick 1992).
Ada alasan tersendiri di balik berlangsungnya suatu perkawinan menurut Hauck (1995), :
a. Alasan neurotik:
1.      untuk menjengkelkan orang tua (terutama oleh para remaja);
2.      untuk mengatasi rendah diri;
3.      untuk menjadi terapis pasangan (biasanya karena ada pihak yang lemah, sakit, kekanak-kanakan);
4.      takut menjadi perawan tua dan  jejaka tua;
5.      takut untuk tidak tergantung;
6.      takut melukai perasaan orang lain; dan
7.      karena anda telah jatuh cinta.
b. Alasan bijaksana dengan kedewasaan  dan rasional
1. keberhasilan;
2. kehidupan seks yang aman dan menyenangkan;
3. perkawinan masih merupakan institusi terbaik untuk membesarkan anak; dan
4. untuk mencapai gaya hidup yang unik.

Konsumsi perkawinan ditunda sampai sang gadis mengalami haid. Seperti  yang   terlihat  dalam  tabel  berikut:
Tabel 1. Penundaan Hubungan Seks Setelah Menikah dan Usia Kawin.








Penundaan
Hubungan Seks
Umur kawin pertama
<15
(n=140)
15-17
(n=295)
18-20
(n=222)
21=
(n=115)
Jumlah
(n=772)
Tidak ditunda
26,6
67,8
84,0
85,2
67,6
Tertunda 0-2  tahun
13,6
9,8
5,0
0
7,7
Tertunda >2th
22,3
5,8
0,5
0
6,4
Tak pernah hub. Seks
37,5
16,6
10,5
14,8
18,2
100
100
100
100
100
            Sumber:  Singarimbun, diolah
Pernikahan dianjurkan karena dapat memenuhi tujuan-tujuan sosial tertentu (Caldwell, 2000:356). Secara tradisional, menikah merupakan suatu alasan logis dan 'diwajibkan' untuk memperolah keturunan yang sah dan diakui oleh masyarakat. Perkawinan merupakan cara yang dianggap ideal dalam berbagai hal, seperti penguasaan seksualitas, legitimasi dan legalitas atas anak-anak, dan terpenting adalah pembagian hal da kewajiban antara suami dan istri (Allan, 2000: 611-2).
Menurut Hilman Hadikusuma (1983) asas-asas perkawinan menurut hukum adat adalah sebagai berikut:
1. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga, rumah-tangga dan hubungan kerabat yang rukun, damai, bahagia dan kekal.
2. Perkawinan tidak saja harus syah dilaksanakan menurut agama atau kepercayaan, tetapi juga harus mendapat persetujuan dari para anggota kerabat.
3. Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang pria dengan beberapa wanita sebagai istri yang kedudukannya masing-masing ditentukan menurut hukum adat setempat.
4.   Perkawinan harus didasarkan pada persetujuan orang tua dan anggota kerabat, masyarakat adat dapat menolak kedudukan istri atau suami yang tidak diakui oleh masyarakat adat setempat.
       Menurut Hawthorn ([1970:42] dalam Lucas, 1990:69) bahwa dalam semua masyarakat kesadaran akan  pembatasan kelahiran memang tergantung pada latar belakang daerah kota atau tempat tinggal, pendidikan atau penghasilan.  Pendidikan yang kuat pengaruhnya terhadap variabel-variabel pengaruh lainnya seperti sikap terhadap besarnya keluarga ideal dan nilai anak.
     Menurut Hull dan  Hull ([1977] dalam Lucas, 1990:69) bahwa wanita yang tidak berpendidikan dan berpendidikan tingkat menengah  mempunyai rata-rata anak lebih sedikit daripada yang berpendidikan sekolah dasar. Norma yang menunjukkan  bahwa dari  golongan status ekonomi yang lebih rendah mempunyai fertilitas yang relatif lebih tinggi, hampir dapat dikatakan sebagai suatu hukum sosial ekonomi ([Wrong, 1977:81] dalam Lucas, 1990:68).
Berdasarkan studi terdahulu tentang perkawinan belia dan sepengatahuan penulis, studi perkawinan belia dengan menitikberatkan pada perspektif sosial budaya dengan menggunakan pendekatan teori Dramaturgi, relative sedikit dilakukan. Dengan demikian studi  perkawinan belian menarik kemudian dengan menggunakan perspektif teori dramaturgi. 

Sumber Tulisan 
Boedirochminarni. 2001. Faktor-faktor yang Berhubungan Terhadap Perkawinan Wanita Muda Usia di Pedesaan (Studi: Desa Sumberejo, kecamatan Pagak, kabupaten Malang ). Dept. Of Economic and Development Studies. Universitas Muhamadiyah Malang.
Caldwell, J.C. 2000. "Fertility (fertilitas)" dalam Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, Adam Kuper dan Jessica Kuper (ed.). Jakarta: RajaGrafindo  Persada
Erving Goffman, 1959. The presentation of Self in everiday life.
Hasibuan, Muhammad Rajab . 2010. Penetapan Umur Dalam Rangka Mencapai Tujuan Pernikahan (Perbandingan Antara UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak). Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Hidayati, Widi. 2007. Analisis Beberapa Faktor Yang Berhubungan Dengan Perkawinan Wanita Usia Muda (Komparasi Hasil Dengan Studi Meta Analisis). Undergraduate thesis, Diponegoro University.
Lucas, D. 1990.. "Fertilitas" dalam Pengantar Kependudukan, David Lucas [et. al]. Yogyakarta: Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan Universitas Gadjah Mada dan Gadjah Mada University Press. Hlm. 53-78.
McDonald, P. 1990.    "Perkawinan dan Nupsialitas" dalam Pengantar Kependudukan, David Lucas [et. al]. Yogyakarta: Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan Universitas Gadjah Mada dan Gadjah Mada University Press. Hlm. 79-93.
Nazaruddin, Pepen. 1998. Makna Kawin Muda dan Perceraian Upaya Memahami Masalah Sosial dan Perspektif Penyandang Masalah: Studi di Kecamatan Kandanghaur Kabupaten DT II Indramayu Propinsi Jawa Barat. UNSPECIFIED thesis, UNSPECIFIED.
Pamungkas, Ani dkk. 2006. Perkawinan Usia Muda: Jumlah  Anak  dan  Fertilitas. Di ajukan Sebagai Laporan Akhir Kuliah Lapangan Antropologi  Kependudukan  di Kawasan Nelayan Kalisari,  Kelurahan Mulyosari,  Kecamatan Mulyorejo, Surabaya. Jurusan Antropologi . Fakultas Ilmu Sosial dan  Ilmu  Politik. Universitas Airlangga. 
Puspitasari , Fitra. 2006.  Perkawinan Usia Muda: Faktor-faktor Pendorong dan Dampaknya terhadap Pola Asuh Keluarga (Studi Kasus di Desa Mandalagiri Kecamatan Leuwisari Kabupaten Tasikmalaya). Fakultas Ilmu Sosial Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan Universitas Negeri Semarang. Skripsi.
Purnarni. 1992. perkawinan usia muda dan kaintannya dengan kematian balita.
Sarwono, Solita dan Santo Koesoebjono. 2004. Paradoks Program KB. Jumlah anak turun, lansia bertambah (Family planning paradox: fewer children, more elderly). Suara Pembaruan 12 November, d a l a m http://home.planet.nl/~koeso002/articles/ Paradoks%20KB.htm
Singarimbun, M. 1980. Faktor-Faktor Sosial dan Kebudayaan yang Mempengaruhi Fertilitas dan Mortalitas. Seri Kertas Kerja No. 17. Cetakan kedua. Yogyakarta: Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan Universitas Gajah Mada.
Singarimbun, M. 1986. Perubahan Perilaku Fertilitas di Sriharjo. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada.
Wahyudi, Hamzan. 2004. Tradisi Kawin Cerai Pada Masyarakat Adat Suku Sasak Lombok Serta Akibat Hukum Yang Ditimbulkannya (Studi Di Kecamatan Pringgabaya Kabupaten Lornbok Timur). Masters Thesis, Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.
Yuliana, 2006. Perbedaan Beberapa Masalah Yang Timbul Antara Wanita Yang Kawin Muda Dengan Wanita yang Kawin di Usia Ideal. Fakultas Kesehatan Masyarakat. UNAIR.
 

Rabu, 12 Januari 2011

Perkawinan Belia Dalam Perspektif Teori Dramaturgi

A. Latar Belakang
Penelitian ini akan mengkaji tentang perilaku “perkawinan belia” pada masyarakat desa Tegaldowo kecamatan Gunem Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Istilah pernikahan belia penulis pinjam dari istilah yang digunakan oleh Abdurrahman Wahid dalam artikelnya di harian umum Kompas terbit 20 November 1997. Ketertarikan penulis untuk mengkaji perkawinan belia, berangkat dari percakapan di tempat kerja yang tidak jauh dari lokasi yang disinyalir marak praktik perkawinan belia. Terlebih ketertarikan penulis pada hal tersebut ketika percakapan mengarah pada pola perilaku orang tua anak perkawinan belia yang lebih bangga jika anaknya janda, daripada anaknya yang akan lulus SD belum dilamar laki-laki calon suami gadis belia tersebut.
Pasca percakapan itu, segera penulis konsultasikan kepada dosen antropologi program pasca sarjana Unnes, yaitu Prof. Dr. Tri Marheni Puji Astuti. Dalam konsultasi singkat sembari berjalan menuju tempat parkir mobil seusai perkuliahan Metode Penelitian Sosial yang diiringi hujan rintik-rintik pada akhir tahun 2010, Prof Heni (sapaan akrap beliau) memberi masukan yang intinya bahwa penelitian yang menyangkut tentang masalah-masalah sosial budaya selalu aktual. Masalah-masalah sosial budaya yang masih ada di masyarakat itu salah satunya adalah perkawinan belia, ungkapnya. Dari percakapan singkat itu, penulis lanjutkan dengan browsing di internet yang berhubungan dengan perkawinan belia di lokasi yang akan dieksplorasi bahan tambang dan materialnya untuk bahan baku pabrik semen gresik.
Searching segera penulis lakukan dengan search engine Google. Pelacakan dokumen tentang perkawinan belia di desa Tegalowo tidaklah sulit. Beberapa portal webiste yang menyediakan informasi tentang perkawinan belia diantarnya dari wikipedia Indonesia, harian Kompas, website pemerintah kabupaten Rembang, dan beberapa blogging. Berikut ulasan singkat tentang pelacakan dokumen yang bersangkutan.
Ulasan yang memuat perkawinan belia di desa Tegaldowo dari wikipedia Indonesia:


Sering orang tua tidak mempedulikan apakah anak gadisnya mau dinikahkan atau tidak. Anak gadis usia belia di Tegaldowo banyak yang sudah menjanda, dan menurut tradisi di sana lebih diterima ketimbang menjadi perawan tua. Sebelum reformasi, cukup banyak terjadi anak perempuan usia di bawah usia 12 tahun dinikahkan dengan pria berusia 20 tahun lebih. Namun, sejak abad 21, tradisi menikahkan anak di bawah usia SD sudah amat jarang. Hanya pernikahan anak usia SLTP yang masih sering terjadi. Menurut data dari KUA Gunem, antara bulan januari 2008 sampai Juni 2009 tercatat 21 pernikahan di bawah usia 16 tahun. Hal ini terkait dengan kepercayaan yang mereka anut, yaitu bahwa jika orang tua memiliki anak perempuan dan ditanyakan atau diminta seorang pria untuk dinikahi harus diterima. Jika menolak, maka dipercaya anak itu takkan menemui jodoh kembali di kemudian hari” (http://id.wikipedia.org/wiki/Tegaldowo,_Gunem,_Rembang).
Perilaku perkawinan belia di Tegaldowo juga menjadi program perhatian pemerintah setempat. Pernyataan Bupati Rembang Jawa Tengah, Mochamad Salim dalam harian Kompas mengatakan:

"Kami sudah awali kegiatan sosialisasi dengan homestay KRR di Desa Tegaldowo, Kecamatan Gunem, kemarin. Kami pilih desa tersebut untuk sosialisasi pertama karena cukup banyak kasus pernikahan dini yang ditemukan," . berdasarkan data dari kantor urusan agama (KUA) kecamatan setempat, dalam kurun waktu tahun 2009-2009, jumlah kasus pernikahan dini sebanyak 21 kasus” (HU. Kompas; Sabtu, 31 Juli 2010).


Publikasikan dalam blogspot Radio-Rock Semarang dari wawancara yang dilakukan Noni Arni dengan seorang informan (pelaku dan pencatata nikah) pada bulan November 2009 juga memuat tentang perkawinan belia. Berikut transkip wawancaranya:


Noni: ”Dijodohin sama ibu..?”
Informan: “iya..”
Noni: “Setelah tahu dijodohkan?”
Informan: “Saya masih kecil jadi biasa saja, belum ada pikiran saya suka dengan pasangan saya. Saya belum mengerti, karena waktu itu masih kelas 4 SD saya mulai di jodohkan. Dua kali dijodohkan gagal dan perjodohan ketiga baru saya dinikahkan. Waktu menikah saya belum lulus SD ”
Ulasan perkawinan belia dalam transkip hasil wawancara Noni dengan Suwandi, seorang pegawai pencacat nikah di Tegaldowo:

Adat orang sini kalau punya anak perempuan sudah ada yang ngelamar harus diterima, kalau tidak diterima bisa sampai lama tidak laku-laku. Percaya hal seperti itu masyarakat di sini. Entah nantinya jodoh atau tidak tetep di terima. Habis saya terima nikahnya..terus besoknya sudah pulang itu banyak. Bisa diartikan dipaksa. Angka perceraianpun tinggi masalahnya kayak gitu”
Berdasarkan pelacakan dokumen tentang perkawinan belia di Tegaldowo, penulis berpandangan bahwa keputusan perkawinan belia cenderung didominasi oleh orang tua anak, bukan pelaku perkawinan belia. Terlebih melihat adanya orientasi kebutuhan sosial orang tua dalam bentuk nilai sosial dimana anak memiliki nilai tukar yang berharga dalam keluarga, ketika anak tersebut telah dikawini oleh laki-laki. Namun pandangan orang tua seolah-olah tidak mengedepankan masa depan kelangsungan hubungan perkawinan anak itu sendiri. Bahkan dalam pelacakan dokumen di atas dapat dilihat, bahwa orang tua tidak terbebani dengan status janda atau duda karena perkawinan belia memiliki pondasi hubungan yang labil. Jelas pandangan ini berseberangan dengan pandangan umum, dimana orang tua akan terbebani ketika anak-anaknya gagal dalam membangun hubungan keluarga.
Pandangan umum yang sama juga terlihat pada alasan medis dalam memandang perkawinan belia, sebagaimana yang telah disampaikan oleh Ikatan Dokter Anak untuk menghentikan kebiasaan kawin muda yang dilansir dalam http://stat.k.kidsklik.com pada hari Senin, 3 November 2008:


"Secara medis anak perempuan usia di bawah 16 tahun masih dianggap belum matang secara seksual karena organ reproduksinya belum mengalami menstruasi sehingga tidak dianjurkan untuk menikah," kata Ketua Satgas Perlindungan Anak (IDAI) DR Rahmat Sentika di Jakarta”.
Resiko perkawinan belia memiliki dampak biologis dan psikologis pada pihak perempuan. Dampak biologis nikah belia yang dilansir oleh Suryadi Danuwisastra, Kepala Bidang KB dalam Pikiran Rakyat mengatakan:
Angka kematian ibu melahirkan terkait dengan usia ibu melahirkan, bisa karena terlalu muda, terlalu banyak, atau terlalu sering melahirkan. Ibaratnya, remaja sedang tumbuh lalu harus mengandung janin yang juga perlu ia beri makan. Rebutan dalam perkembangan, walaupun mungkin selamat, namun kualitas anak yang dilahirkan remaja tentu akan berbeda dengan yang dilahirkan perempuaan dewasa yang memang sudah siap untuk melahirkan” (HU. Pikiran Rakyat; 21 Maret 2007; 01).
Adapun dampak psikologis dalam perkawinan belia dilansir oleh dr. H.M. Zainie Hassan A.R., Sp.K.J. (ahli jiwa) dalam harian Pikiran Rakyat mengatakan:


Usia remaja menimbulkan persoalan dari berbagai sisi seperti pendidikan yang mungkin belum lulus SMA. Karena minim pendidikan, pekerjaan semakin sulit didapat dan berpengaruh pada pendapatan ekonomi keluarga,” ujarnya. Terlebih jika menikah muda karena ketelanjuran berhubungan seks. Ada penolakan keluarga yang terjadi akibat malu. “Ini bisa menimbulkan stres. Ibu hamil usia muda mempunyai risiko bunuh diri lebih tinggi, khususnya jika mereka hamil di luar nikah dan tanpa didukung keluarga” (HU. Pikiran Rakyat; 21 Maret 2007; 01).
Menurut penulis perlu dilakukan studi dalam upaya melihat perilaku perkawinan belia menurut sudut pandangan masyarakat Tegaldowo. Upaya ini penting dilakukan karena biasanya perilaku perkawinan belia dipandang dari perspektif etik (peneliti perkawinan belia) saja dan bukan dilihat dari perspektif emik (pelaku perkawinan belia). Tentunya untuk memahami perkawinan belia di Tegaldowo dengan baik, maka perlu memahami perkawinan belia dari perspektif emik.

B. Permasalahan Penelitian
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengkaji dan memahami perilaku perkawinan belia dari perpektif pelaku perkawinan belia. Dalam hal ini penulis tertarik mengkaji dan memahami bagaimana masyarakat Tegaldowo dalam melihat perkawinan belia. Nilai apa yang diinterpretasikan dalam melakukan tindaka perkawinan belia.
Dalam mengkaji dan memahami perilaku perkawinan belia, penulis akan menggunakan beberapa konsep dari perspektif teori Dramaturgi dari Erving Goffman (1959) sebagai berikut:
  1. perilaku manusia sangat bergantung pada waktu, tempat, dan khalayaknya;
  2. dalam setiap perilaku manusia terdapat dua arena yaitu panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage); dan
  3. perilaku manusia dalam berinteraks-i akan menghasilkan makna.

C. Tujuan Penelitian
Secara garis besar penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk mengetahui;
  1. karakteristik masyarakat Tegaldowo dalam perilaku perkawinan belia
  2. perspektif perkawinan belia pada masyarakat Tegaldowo
  3. peranan masyarakat dan pemerintah dalam memandang perkawinan belia

D. Manfaat Penelitian
  1. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan memberikan informasi bagi pelaku pembangunan bidang kesejahteraan sosial terutama bagi mereka yang terlibat di dalam pembinaan generasi mudan dan pembinaan keluarga muda. Diharapkan dari penelitian ini nantinya dapat memberikan gambaran tentang masalah perkawinan belia. Oleh kerena itu nantinya hasil penelitian ini dapat dipahami oleh pelaksana program untuk lebih menyempurnakan dan lebih mengoptimalkan pelaksanaan program pembangunan bidang kesejahteraan sosial.

  1. Manfaat Teoritis
Memberikan masukan terhadap penulis dalam upaya memahami perilaku perkawinan belia dari sudut pandang pelaku perkawinan belia dengan menggunakan perspektif teori Dramaturgi dari Erving Goffman. Hal ini penting dipahami oleh para penulis tentang perilaku perkawinan belia yang terjadi di masyarakat.