Rabu, 21 Desember 2011

Musik dan Rekayasa Sosial

Studi Pembangunan Karakter Pada Siswa SMA di Indonesia

Musik menjadi intrumen dalam segala hal (Sumber: Ilustrasi)

Oleh: Suhadi Rembang

Musik merupakan produk dari lembaga sosial di bidang kesenian. Keberadannya memiliki peranan penting dalam membangun harmoni dinamika sosial. Ketegangan urat saraf hingga kekerasan fisik dalam proses interaksi sosial, mampu diredam hingga dikendalikan oleh suatu alunan nada yang penuh dengan pesan cinta kasih yang mendalam. Musik hadir tanpa mengenal batas. Mulai dari masyarakat tradisional hingga modern, musik acapkali dijadikan ikon dalam pentas-pentas sosial. Musik selalu hadir dan menyatu dalam upacara ritus sosial. Diversitas ruang lingkup dari keberadaan suatu musik, tentu saja kehadiran musik dapat berfungsi membangunan karakter suatu anggota masyarakat. Siswa sebagai bagian dari anggota masyarakat yang masih dalam proses membangun karakter, sangat relevan jika musik digunakan untuk merekayasa karakter unggul para siswa Indonesia. Langkah awal yang perlu dilakukan adalah menyusun karakter unggul apa saja yang diperlukan di kehidupan sosial dan lingkungan di masa depan. Langkah selanjutnya adalah melakukan studi dokumen tentang karya-karya musik yang relevan dengan karakter unggul di masa depan. Jika langkah kedua ini menemui kendala dalam bentuk keterbatasan dokumen musik yang relevan, maka perlu dilakukan produksi musik yang memiliki muatan karakter unggul di masa depan. Langkah selanjutnya yaitu proses internaliasi karya musik kepada siswa. Dengan demikian, akan terbangun suatu karakter unggul masa depan pada diri siswa SMA Indonesia dikemudian.

Kata kunci: musik, rekayasan sosial, karakter unggul siswa

Jumat, 16 Desember 2011

Orang Tua Korupsi Anaknya Seks Bebas

Selamatkan Anak dari Korupsi (Sumber: Ilustrasi)
Oleh: Suhadi Rembang

Dalam suatu tatanan sosial yang ideal, memang tidak ada yang membenarkan bahwa korupsi dan seks bebas, itu benar. Korupsi dan seks bebas adalah perilaku salah. Namun kenyataannya, korupsi dan seks bebas malah diproduksi oleh suatu lingkungan sosial.

Artikel ini merupakan buah pengamatan tentang fenomena sosial korupsi dan sek bebas pada keluarga anak yang ada di bangku SMA. Saya memandang, dalam kasus-kasus tertentu, perilaku korupsi dan seks bebas telah dalam keadaan tindakan populer. Semoga artikel singkat ini mendorong kepekaan sosial akan berbagai permasalahan sosial yang ada. Terlebih dewasa ini, terjadi kemerosotan kepekaan sosial diantara kita.

Sebagai lembaga sosial yang bergerak di bidang pendidikan yang berperan mencerdaskan siswa, Sekolah Menengah Atas (SMA) juga berperan sebagai media interaksi sosial siswa untuk mencukupi berbagai kebutuhan selain kecerdasan.

Di lembaga SMA inilah, ada suatu legalitas pembenar bahwa para siswa saling berinteraksi satu sama yang lain, adalah suatu keniscahyaan. Hubungan siswa satu sama yang lain inilah, kemudian menjadi pintu awal untuk saling mencukupi kebutuhan satu sama yang lain.

Memang pada awalnya, interaksi mereka memiliki dasar ideal. Mereka saling bertemu untuk saling meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan. Namun dalam perkembangannya, pola interaksi sosial yang memiliki pijakan dasar ideal ini, menyimpang. Hal ini dapat dilihat fenomena pacaran siswa SMA. Beberapa kasus dilapangan, fenomena pacaran anak SMA telah malampaui batas kewajaran. Dalam temuan di lapangan, hubungan seks acapkali mejadi perilaku yang diharapkan dalam pacaran mereka.

Proses interaksi sosial yang awalnya dilandasi dengan pijakan norma yang ideal, ternyata telah melampaui kaidah-kaidah sosial yang ada. Interaksi sosial antara mereka yang harusnya memacu peningkatan pengetahuan dan ketrampilan, telah digunakan untuk mencukupi kebutuhan kasih sayang yang melanggar norma sosial. Untuk itu, perlu dikembalikan pada konsep awal, bahwa intekasi sosial mereka harus memacu pada pengetahuan dan keterampilan kecerdasan.

Memang beberapa faktor bermunculan silih berganti dalam mendorong fungsi interaksi sosial siswa ke arah penyimpangan.

Media televisi bisa menjadi kitab suci para siswa dalam melakukan pacaran. Berbagai adegan pacaran didapat dari media televisi. Tiap-tiap keluarga yang telah memiliki televisi, seakan memberikan lampu hijau, bahwa pacaran merupakan hal yang wajar yang dilakukan oleh anak seusia SMA.

Selain media televisi, media yang tidak kalah hebatnya adalah handphone, khususnya handphone yang telah dilengkapi jaringan internet dan media pemutaran file film. Dengan alat teknologi dan informasi inilah, para siswa SMA mampu mengunduh dan memutar berbagai file film yang mengajari mereka untuk berpacaran secara menyimpang.

Namun media di atas hanyalah alat, bukan cara. Sehingga menjadi penting untuk didiskusikan adalah pelaku dari pacaran menyimpang itu sendiri. Terlebih media tersebut sangat dekat dengan sumber belajar dan teknik pembelajaran di sekolah dewasa ini.

Dalam sisi lain, proses interaksi sosial terbuka, dan didorong dengan televisi serta handphone inilah, sedikit banyak telah mengantarkan para anak-anak SMA berpacaran dengan menyimpang. Proses pengenalan tentang perilaku pacaran, terkesan cenderung tergesa-gesa. Sehingga anak-anak yang harusnya masih menikmati dua anak, harus menyelami perilaku sosial yang tidak harus dilakukan. Berangkat dari pintu inilah, kebutuhan akan kasih sayang cenderung mendominasi perilaku pacaran menyimpang.

Kebutuhan afeksi (kasih dan sayang) anak-anak, pada umumnya telah dipenuhi oleh keluarga. Namun pada saat ini, lembaga keluarga terkesan mengesampingkan perannya dalam mencukupi dalam memproduksi nilai-nilai kasih dan sayang. Lembaga keluarga pada saat ini telah disibukkan dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi para anggota keluarganya.

Orang tua dan penanggung jawab keluarga merasa bersalah, jika tidak mampu mencukupi kebutuhan ekonomi anggota keluarganya. Namun tidak merasa bersalah, jika tidak mampu mencukupi kebutuhan afeksi para anggota keluarganya. Mereka juga sepakat, materi lebih penting daripada kasih sayang hingga mengontrol perilaku dan prestasi akademik para anak-anaknya.

Perilaku orang tua dalam mencukupi kebutuhan ekonomi, tentu tidak serta merta terjadi begitu saja. Perilaku orang tua demikian karena adanya perubahan sistem ekonomi. Jika dahulu, sistem ekonomi cenderung berfungsi pada kesejahtaraan sosial. Namun sekarang berbeda, sistem ekonomi cenderung dimaknai sebagai kesejahteraan individual. Perubahan pandangan ini berangkat pada perubahan semangat sosial kekeluargaan ke arah semangat materialis individual.

Fungsi keluarga semakian hari semakin banyak. Selain fungsi ekonomi, juga fungsi afeksi, dan pengendalian sosial. Namun kenyataannya, tiga fungsi utama keluarga yang diharapkan oleh anak, tidak optimal. Kenyataan di lapangan, jika fungsi ekonomi berhasil, maka ada fungsi yang lain terabaikan.

Ironisnya, seorang anak belum dapat menerima kenyaatan itu. Anak usia SMA cenderung berharap bahwa orangtuanya mampu mencukupi kebutuhan afeksi dan ekonomi. Sehingga yang terjadi adalah adanya kekosongan ruang afeksi anak, dan rendahnya kontrol orang tua kepada anak, karena orang tua cenderung menghabiskan waktunya untuk ekonomi. Jika potret suatu keluarga dalam masyarakat demikian, maka yang terjadi adalah rendahnya kasih sayang dan kontrol sosial dalam suatu lingkungan sosial.

Keadaan ini masih ditambah dengan adanya perubahan orientasi perubahan sistem ekonomi dari pertanian menuju industri jasa. Jika sistem ekonomi pertanian suatu keluarga masih kental dengan ruang afeksi dan kontrol soaial, sebaliknya, dalam sistem ekonomi berbasis jasa, ruang afeksi dan kontrol sosial menjadi barang dagangan yang harus di jual belikan dengan sangat mahal.

Dengan demikian, orang tua menghadapi masalah ekonomi yang penuh dengan tantangan. Begitu juga anak-anaknya, mencari afeksi yang ditinggalkan peranannya oleh orang tua, dan disisi lain, terjadi rendahnya ruang kontrol yang terkesan bebas tanpa aturan.

Perilaku menyimpang pada ruang orang dewasa (orang tua) dan anak (siswa SMA) tidak dapat terhindarkan. Kedua-duanya saling mendapatkan sesuatu yang berlimpah. Materi melimpah dan kasih sayang melimpah. Saat itulah terjadi suatu kondisi penyimpangan sosial yang diharapkan. Sehingga realitas korupsi dan seks bebas menjadi tontonan dalam keseharian sosial.

Dalam tatanan sosial yang ideal, memang tidak ada yang membenarkan bahwa korupsi dan seks bebas, itu benar. Korupsi dan seks bebas adalah perilaku salah. Namun kenyataannya, korupsi dan seks bebas malah diproduksi oleh suatu lingkungan sosial. Sungguh suatu realitas sosial yang pelik dan rumit.

Apa, siapa, dan bagaimana dalam mengatasi korupsi dan seks bebas pada anak-anak SMA, sudah saatnya untuk kita bicarakan dalam keluarga dan pertemuan-pertemuan lingkup lokal.

Pamotan, 17 Desember 2011

Selasa, 13 Desember 2011

Sumber Belajar dan Teknik Pembelajaran, Berantakan



Kehidupan anak di masa depan diramalkan penuh tantangan. Sekolah sebagai lembaga pendidikan hingga detik ini dipercaya untuk mempersiapkan masa depan anak. Untuk itu sekolah harus tampil mempersiapkan sumber belajar dan teknik pembelajaran untuk kebutuhan hidup masa depan anak. Namun kenyataan dilapangan, sumber belajar dan teknik pembelajaran yang digunakan oleh para pendidik di sekolah, didominasi oleh produk lawas dan terkesan ketinggalan zaman. Akankah para siswa di kemudian hari nanti akan mampu mengarungi hidup dengan senyuman, ataukah sebaliknya, mereka akan menjadi barang rongsokan yang siap dilindas dan terlempar dari dinamika zaman. Dalam artikel ini memuat tentang potret pengunaan sumber belajar dan teknik pembelajaran di SMA, ramalan produk yang dihasilkan, hingga siasat yang perlu dilakukan untuk mengantarkan para siswa untuk siap mengarungi hidup dimasa yang akan datang.

Jumat, 02 Desember 2011

Pelemahan pada Kegiatan Akademik:

Catatan Akhir Tahun Tentang Program Kesiswaan SMA di Indonesia

Budaya membaca anak (Sumber: Ilustrasi)
Oleh: Suhadi Rembang

Tradisi struktural di SMA, bidang kesiswaan selalu didominasi dengan program kegiatan seni dan olahraga. Padahal, menurut Peraturan Mendiknas RI No. 3p tahun 2008 tentang Pembinaan Kesiswaan, bidang kesiswaan seharusnya didominasi oleh program kegiatan peningkatan akademik. Beberapa titik rawan kegiatan juga ditemukan dalam materi pembinaan kesiswaan pada point empat ini. Kegiatan pembinaan kesiswaan SMA yang cenderung jalan di tempat ini, diduga kuat bahwa pihak sekolah sendirilah yang mengusung kemandulan ide dan kreatifitas pasca kelulusan.

Permendiknas No. 39 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kesiswaan memuat bahwa materi pembinaan kesiswaan meliputi: (1) Keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; (2) Budi pekerti luhur atau akhlak mulia; (3) Kepribadian unggul, wawasan kebangsaan, dan bela negar; (4) Prestasi akademik, seni, dan/atau olahraga sesuai bakat dan minat; (5) Demokrasi, hak asasi manusia, pendidikan politik, lingkungan hidup, kepekaan dan toleransi sosial dalam konteks masyarakat plural; (6) Kreativitas, keterampilan, dan kewirausahaan; (7) Kualitas jasmani, kesehatan, dan gizi berbasis sumber gizi yang terdiversifikasi; (8) Sastra dan budaya; (9) Teknologi informasi dan komunikasi; dan (10) Komunikasi dalam bahasa Inggris.

Selanjutnya, materi pembinaan kesiswaan pada point empat diterjemahkan dengan jenis kegiatan sebanyak sepuluh point, yaitu: (a) Mengadakan lomba mata pelajaran/program keahlian; (b) Menyelenggarakan kegiatan ilmiah; (c) Mengikuti kegiatan workshop, seminar, diskusi panel yang bernuansa ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek); (d) Mengadakan studi banding dan kunjungan (studi wisata) ke tempat-tempat sumber belajar; (e) Mendesain dan memproduksi media pembelajaran; (f) Mengadakan pameran karya inovatif dan hasil penelitian; (g) Mengoptimalkan pemanfaatan perpustakaan sekolah; (h) Membentuk klub sains, seni dan olahraga; (i) Menyelenggarakan festival dan lomba seni; dan (j) Menyelenggarakan lomba dan pertandingan olahraga.

Namun kenyataannya, jenis kegiatan yang dapat memacu adrenalin prestasi akademik, seni, dan/atau olahraga sesuai bakat dan minat ini, praktis hanya kegiatan pada nomor (i) dan (j) saja. Beberapa jenis kegiatan yang harusnya menjadi nyawa dari materi pembinaan point empat ini, lebih rajin untuk ditinggalkan.

Ada beberapa indikator penyebab mengapa para pembina kesiswaan di SMA lebih suka membina seni dan olahraga, bukan kegiatan akademik. Pertama, pembina kesiswaan di SMA memiliki riwayat akademik yang buruk. Kedua, kegiatan-kegiatan akademik memerlukan tingkat berfikir tinggi namun nilai profit rendah. Ketiga, visi dan misi pimpinan lembaga pendidikan yang didominasi oleh nuansa politik kekuasaan, bukan karir akademik yang mapan.

Riwayat pembina kesiswaan di SMA yang memiliki derajat mutu akademik rendahan ini, acapkali dipegang oleh guru yang suka kegiatan di lapangan. Guru yang demikian memang jauh dari impian masyarakat akan konsep guru profesional (akademik: penelitian).

Kegiatan-kegiatan akademik yang sarat berpikir namun memiliki nilai profit rendah, kecenderungan tidak dijalankan. Para pembina kesiswaan lebih suka menjalankan program yang tidak banyak mikir. Kegiatan seremonial lomba seni dan olahraga klasikal menjadi program kerja kesiswaan nomor wahid. Cukup membuat surat penugasan kepada siswa untuk lomba di akhir semester dan berangkat lomba pada suatu event/kegiatan di luar. Kegitan seni dan olahraga inilah yang acapkali menjadi pusat perayaan kegiatan kesiswaan. Sekolah yang menang dalam lomba seni dan olahraga, dialah yang dianggap sebagai sekolah unggulan. Pihak sekolahpun berani merogoh dana sekolah berlebih, untuk menjadi pemenang.

Visi dan misi pimpinan lembaga pendidikan yang didominasi oleh nuansa politik kekuasaan, bukan karir akademik yang mapan, juga menjadi tudingan kuat dari lemahnya kegiatan akademik dalam pembinaan kesiswaan. Pimpinan lembaga pendidikan cenderung sebagai incaran para guru yang tidak memiliki prestasi akademik yang mapan. Proses seleksi kepala lembaga pendidikan yang penuh dengan politik kekuasaan, cenderung menjadi pintu awal yang selanjutnya mencetak visi dan misi lembaga pendidikan yang jauh dari prestasi akademik. Ironisnya, kebijakan yang dituangkan dalam lembar anggaran belanja sekolah, kegiatan akademik selalu ditempatkan pada nilai anggaran yang paling rendah.

Dalam rangka menjalankan Peraturan Mendiknas RI No. 3p tahun 2008 tentang Pembinaan Kesiswaan, khususnya pada point empat tentang prestasi akademik, seni, dan/atau olahraga sesuai bakat dan minat, perlu dilakukan beberapa langkah terobosan sebaggai berikut. Pertama, menempatkan pembina kesiswaan di SMA yang memiliki riwayat akademik yang baik. Kedua, kegiatan-kegiatan akademik harusnya dipandang memiliki nilai profit tinggi. Ketiga, proses seleksi pimpinan lembaga pendidikan harus menyertakan karir akademik yang mapan yang jauh dari kepentingan politik kekuasaan.

Dengan melakukan tiga langkah tersebut, program pembinaan kesiswaan tentang prestasi akademik, seni, dan/atau olahraga tercapai dengan ideal.

Pamotan, 03 Desember 2011