Rabu, 31 Mei 2017

Tahu Diri, Sebuah Aset Bangsa Yang Terpinggirkan

Harus hati-hati ketika bermain-main dengan ideologi negara. Barang satu ini cukup sensitif. Apalagi relasi ideologi cukup terbuka dengan eksistensi NKRI. Salah sentuh saja, tanah dan rakyat menjadi taruhannya.

Sekarang, 01 Juni, tepat peringatan lahirnya ideologi negara Indonesia, Pancasila, dibumikan kembali. Terlepas kontroversi tepat tidaknya waktu peringatannya, hari ini adalah momentum paling yahut dalam mendedahkan kembali pentingnya merajut kembali ideologi kita dalam berbangsa dan bernegara. Apapun ekspresi peringatannya, mulai dari upacara, tumpengan, diskusi, hingga sarasehan di warung kopi hingga di panggalan ojek, kita sebagai warga negara Indonesia patut mengapresiasi dan menghormatinya. Ekspresi peringatan ini adalah bentuk nyata dalam merawat bangsa dan negera Indonesia. Semua elemen masyarakat dan kelompok sosial harus memuliakannya.

Selaku warga negara Indonesia, kita patut sangat berterimakasih kepada para Tokoh Bangsa, para Pejuang pembela tanah air, hingga para guru kita. Melalui mereka yang Terhormat, kita sungguh merasakan hidup cinta damai di negeri Indonesia tercinta. Atas nama kedamaian dan ketenangan hidup di Nusantara ini, tugas kita tak lain adalah merajut dan merawat kembali, rasa berbangsa dan bernegara Indonesia.

Perihal dinamika yang terjadi baru-baru ini, patut kita merenung terhadap perilaku saudara-saudara kita yang disangka berlawanan dengan ideologi Pancasila.  Siapapun dan apapun yang berada di Indonesia,  harus tahu diri. Keberadaan kita, termasuk pikiran sikap dan perilaku kita, tidak dapat lepas begitu saja dengan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan momentum hari lahir Pancasila, Ideologi Pancasila harus kita pandang menjadi satu kesatuan, bukan sebuah ideologi terpisah. Ideologi Pancasila adalah kesatuan Indonesia itu sendiri. Sehingga memisahkan Pancasila sama halnya dengan sadar memisahkan bangsa Indonesia.

Pemerintah, partai politik, dan kelompok sosial lainnya harus tahu diri. Pancasila adalah milik Indonesia. Tidak elok jika Pancasila dijadikan komoditas politik. Semua instrumen bangsa ini harus tahu diri, bahwa peranan kita adalah mewujudkan cita-cita bangsa Indoensia, yaitu masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.

Apakah peranan kita telah mewujudkan keadilan Indonesia? Apakah peranan kita juga telah mewujudkan kemakmuran Indonesia? Dua pertanyaan ini harusnya menjadi bahan renungan dalam momentum peringatan hari lahir Pancasila.
Kita tidak akan selesaikan menjadi bangsa yang dewasa, jika pikiran sikap dan laku kita hanya dengan bermain-main dengan ideologi negara. Entah apa yang terjadi, jika pemerintah, partai politik, dan kelompok sosial selalu meributkan Pancasila. Pemerintah, partai politik, dan kelompok sosial harus tahu diri bahwa peranannya adalah mewujudkan keadilan dan kemakmuran bangsa Indonesia.

Pemerintah tidak boleh anti kritik terhadap capaian keadilan dan kemakmuran. Partai politik tidak boleh serampangan dalam menyusun instrumen keadilan dan kemakmuran. Begitupun dengan kelompok sosial, harus hati-hati dalam menyiapkan generasi yang akan datang, dalam memahamkan sikap kebangsaan dan ke-Indonesiaan.

Momentum perayaaan hari lahir Pancasila ini harus kita sikapi dengan ekspresi tahu diri. Janganlah kita pinggirkan sikap tahu diri kita, karena sesuatu yang tidak jelas. Subtansi perayaaan hari lahir Pancasila adalah dua. Pertama, apakah kita sudah berperilaku mewujudkan keadilan sosial. Kedua, apakah kita sudah berperilaku mewujdukan kemakmuran sosial. Kalau belum, kita harus malu.

Selamat hari lahir pancasila
Selamat mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia
Salam Adil, Salam Makmur.

Sumber: http://www.kompasiana.com/es_lodheng/tahu-diri-sebuah-aset-yang-terpinggirkan_592f06513497731e222b6f73


Dokumen Berita SD Sepi Peminat

Dokumen berita SD Negeri Sepi Peminat ini dikumpulkan dari beragam media online. Data dikumpulkan pada tanggal 31 Mei 2017.

Dokumen ini sepenuhnya digunakan untuk bahan menulis tematik “SD: Aset Bangsa Yang Terpinggirkan”

Silahkan DOWNLOAD

Senin, 08 Mei 2017

Minimnya Teks Hijau Dalam Kurikulum Kita

Sumber: http://www.kompasiana.com/es_lodheng/minimnya-teks-hijau-dalam-kurikulum-kita_591101b6c8afbd13048b456a

atau klik link berikut ini 

“Tampaknya pembelajaran kita semakin memihak dengan sumber teks yang kering. Minimnya teks hijau sebagai inspirasi dalam pembelajaran tak lagi menghiasi sumber belajar di bangku sekolahan. Mungkinkah ini petanda bahwa pesan pembelajaran kita semakin memberi jarak antara manusia dengan beningnya air kita? Mungkinkah juga ini menjadi tanda bahwa pesan pembelajaran kita semakin membangun jurang pemisah antara manusia dengan keasrian bumi kita?”


Secara struktur, sistem pendidikan kita cenderung ter-arah pada penggunaan teks-teks pembelajaran yang kering. Tersebut sejak dalam UU No 2 tahun 1989 yang hanya menekankan pada kajian ilmu bumi. Sedangkan kajian tentang tentang ilmu air dan kekayaan alam kita, tidak termaktub dalam kurikulum, tepatnya pada pasal 39.

Masih dalam struktur kebijakan pendidikan nasional kita, pengenaan teks-teks berdaun kering semangkin kentara. Hadirnya UU No 20 tahun 2009, telah semakin berani menghilangkan diktum kajian ilmu bumi. Hal ini dapat dilihat pada pasal 36 dan 37, yang lagi-lagi tetap konsisten dengan peniadaan kajian ilmu air dan kajian ilmu kekayaan alam dari kaidah-kaidah sistem pendidikan pendahulunya.

Berangkat dari kebijakan struktur inilah, teks sumber belajar di bangku sekolah, semakin terkebiri dengan sentuhan teks sumber belajar yang mengkaji tentang bumi, air, udara, dan kekayaan alam yang ada di dalamnya. Dan hal ini dapat ditafsirkan lebih jauh, tampaknya ada rekayasa, bahwa sistem pendidikan kita telah memutus keterhubungan dengan pasal 33 dan pasal 34 UUD 1954. Jika pasal 33 dan 34 merupakan konsekwensi dari tujuan didirikannya negara Indonesia, seharusnya, sistem pendidikan kita harus lekat dengan teks sumber belajar tentang bumi, air, udara, dan kekayaan alam yang ada didalamnya.

Berdasar dari cara berfikir di atas, maka wajar, jika hasil lulusan sekolah kita, cenderung tidak memahami hakikat kebermanfaatan keilmuannya. Ilmu yang di dapat dari bangku sekolah, cenderung tidak menyuburkan tanah air kita. Dan wajar, jika lulusan-lulusan sekolah kita, cenderung mengeksploitasi kekayaan alam, tanpa berlandasan terhadap pasal 33 dan pasal 34. Artinya, yang penting mereka kerja dan dapat uang. Adapun tanggung jawab sosial terhadap fakir miskin adan anak yatim yang harus sejahtera bersama-sama, lepas begitu saja.

Untuk itu perlu ditawarkan model pembelajaran teks hijau. Pembelajaran teks hijau yang dimaksud adalah pembelajaran yang menekankan pada kegiatan membaca literatur ilmu bumi, ilmu air, ilmu udara, dan ilmu-ilmu yang mengkaji tentang kekayaan alam kita yang ada didalamnya. Proses pembelajaran model pembelajaran teks hijau dapat dilakukan dengan cara model kunjungan. Sudah saatnya para Guru mengajak para muridnya ke atas gunung untuk memahami bumi. Sudah saatnya guru-guru kita membawa ke tengah laut dan ke sumber mata air, agar para siswa kita memahami air. Bawalah muridmu ke atas awan agar mereka memahami makna udara. Dan juga, para guru sudah saatnya mengajak anak didiknya untuk mengidentifikasi kekayaan alam kita yang mewah anugerah Tuhan Yang Maha Esa. 

Lantas ke arah mana pesan dari model pembelajaran teks hijau? Model pembelajaran teks hijau harus dan berpangkal pada kebermanfaatan ilmu untuk kesejahteraan bersama. Pangkal pesan pembelajaran teks hijau juga, harus menghasilkan lulusan-lulusan yang memiliki tanggung jawab sosial terhadap fakir miskis dan anak terlantar. Bukan sebaliknya, lulusan-lulusan sekolah kita hanya mengejar dan menumpuk kekayaan, karena adanya kehawatiran yang terlalu dalam ketika negara tidak mampu menanggung kesejahteraan dirinya dan keluarga dekatnya.

Mari kita bersama-sama meneguhkan kembali bahwa tujuan pendidikan kita adalah untuk mencerdaskan bangsa Indonesia yang mampu menciptakan dan menjaga keadilan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Aku Rindu, Guruku yang Apa Adanya

Entah sudah berapa lama. Suasana saat itu, di kelas. Guruku mengajar dengan tampil apa adanya. Saat itu, Beliau selalu membacakan selembar tulis karyanya. Aku dan para muridnya mendengarkan dengan khikmad. Lembar tulis tangan itu benar-benar mengantarkan kami semua memahami sebuah materi yang diajarkan. Satu dua hingga tiga pertemuan di kelas itu, selalu dilanjutkan dengan berkunjung di lapangan. Guruku selalu menunjukkan keterhubungan antara yang Beliau tulis, dengan yang dikunjungi. Dan tak lama kemudian, Beliau membimbing kami untuk menulis sebuah pengalaman. Namun sekarang, jarang sekali aku temukan sosok guru yang demikian. Guru sekarang cenderung mengandalkan teknologi. Guru sekarang cenderung boros energi. Gedung mewah, perangkat video-audio, dan AC selalu lekat dengannya. Slide powerpoint dan tayangan film selalu di jejalkan pada kami semua. Entah dari mana sumbernya. Kami merasa, dari ujung barat sampai ujung timur, media yang digunakan tak lagi bersumber darinya. Semua sama, sama-sama tidak memiliki apa yang disuguhkannya. Kami dan guru kami, seakan belajar materi langit, namun sepi akan peraduan cinta. Sungguh aku rindu akan guruku yang apa adanya. Guruku yang mengakui ketidakmampuannya. Dengan pengakuan itu, guruku selalu membaca buku. Buku yang dibaca, selalu di bawa di dalam kelas. Buku-buku yang dibaca di rumahnya itu, selalu dibaca-ulang di dalam kelas kami. Berawal dari situlah, kami termotivasi untuk membaca buku. Sungguh aku rindu guruku yang apa adanya. Guruku yang mengakui ketidakmampuannya. Dengan pengakuan itu, guruku selalu menulis. Hasil tulisan itu, selalu di bawa di dalam kelas. Tulisan tangan yang agak jelek itu, selalu dipamerkan kami. Sejak itulah, kami termotivasi untuk menulis. Sungguh aku rindu guruku yang apa adanya. Guruku yang mengakui ketidakmampuannya. Dengan pengakuan itu, guruku selalu mengajakku berkunjung ke lapangan. Membaca situasi, mengamati, bertanya tentang berbagai hal yang berhubungan dengan apa yang Beliau tulis dan apa yang Beliau bacakan di dalam kelas itu. Aku dan kawan-kawanku diajarkan tentang mencari kebenaran, menguji kebenaran, mengumpulkan kebenaran, dan mengabarkan kebenaran. Sungguh aku rindu guruku yang apa adanya.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/es_lodheng/aku-rindu-guruku-yang-apa-adanya_58f416ec127f61f7079eb207
Entah sudah berapa lama. Suasana saat itu, di kelas. Guruku mengajar dengan tampil apa adanya. Saat itu, Beliau selalu membacakan selembar tulis karyanya. Aku dan para muridnya mendengarkan dengan khikmad. Lembar tulis tangan itu benar-benar mengantarkan kami semua memahami sebuah materi yang diajarkan. Satu dua hingga tiga pertemuan di kelas itu, selalu dilanjutkan dengan berkunjung di lapangan. Guruku selalu menunjukkan keterhubungan antara yang Beliau tulis, dengan yang dikunjungi. Dan tak lama kemudian, Beliau membimbing kami untuk menulis sebuah pengalaman. Namun sekarang, jarang sekali aku temukan sosok guru yang demikian. Guru sekarang cenderung mengandalkan teknologi. Guru sekarang cenderung boros energi. Gedung mewah, perangkat video-audio, dan AC selalu lekat dengannya. Slide powerpoint dan tayangan film selalu di jejalkan pada kami semua. Entah dari mana sumbernya. Kami merasa, dari ujung barat sampai ujung timur, media yang digunakan tak lagi bersumber darinya. Semua sama, sama-sama tidak memiliki apa yang disuguhkannya. Kami dan guru kami, seakan belajar materi langit, namun sepi akan peraduan cinta. Sungguh aku rindu akan guruku yang apa adanya. Guruku yang mengakui ketidakmampuannya. Dengan pengakuan itu, guruku selalu membaca buku. Buku yang dibaca, selalu di bawa di dalam kelas. Buku-buku yang dibaca di rumahnya itu, selalu dibaca-ulang di dalam kelas kami. Berawal dari situlah, kami termotivasi untuk membaca buku. Sungguh aku rindu guruku yang apa adanya. Guruku yang mengakui ketidakmampuannya. Dengan pengakuan itu, guruku selalu menulis. Hasil tulisan itu, selalu di bawa di dalam kelas. Tulisan tangan yang agak jelek itu, selalu dipamerkan kami. Sejak itulah, kami termotivasi untuk menulis. Sungguh aku rindu guruku yang apa adanya. Guruku yang mengakui ketidakmampuannya. Dengan pengakuan itu, guruku selalu mengajakku berkunjung ke lapangan. Membaca situasi, mengamati, bertanya tentang berbagai hal yang berhubungan dengan apa yang Beliau tulis dan apa yang Beliau bacakan di dalam kelas itu. Aku dan kawan-kawanku diajarkan tentang mencari kebenaran, menguji kebenaran, mengumpulkan kebenaran, dan mengabarkan kebenaran. Sungguh aku rindu guruku yang apa adanya.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/es_lodheng/aku-rindu-guruku-yang-apa-adanya_58f416ec127f61f7079eb207
Entah sudah berapa lama. Suasana saat itu, di kelas. Guruku mengajar dengan tampil apa adanya. Saat itu, Beliau selalu membacakan selembar tulis karyanya. Aku dan para muridnya mendengarkan dengan khikmad. Lembar tulis tangan itu benar-benar mengantarkan kami semua memahami sebuah materi yang diajarkan. Satu dua hingga tiga pertemuan di kelas itu, selalu dilanjutkan dengan berkunjung di lapangan. Guruku selalu menunjukkan keterhubungan antara yang Beliau tulis, dengan yang dikunjungi. Dan tak lama kemudian, Beliau membimbing kami untuk menulis sebuah pengalaman. Namun sekarang, jarang sekali aku temukan sosok guru yang demikian. Guru sekarang cenderung mengandalkan teknologi. Guru sekarang cenderung boros energi. Gedung mewah, perangkat video-audio, dan AC selalu lekat dengannya. Slide powerpoint dan tayangan film selalu di jejalkan pada kami semua. Entah dari mana sumbernya. Kami merasa, dari ujung barat sampai ujung timur, media yang digunakan tak lagi bersumber darinya. Semua sama, sama-sama tidak memiliki apa yang disuguhkannya. Kami dan guru kami, seakan belajar materi langit, namun sepi akan peraduan cinta. Sungguh aku rindu akan guruku yang apa adanya. Guruku yang mengakui ketidakmampuannya. Dengan pengakuan itu, guruku selalu membaca buku. Buku yang dibaca, selalu di bawa di dalam kelas. Buku-buku yang dibaca di rumahnya itu, selalu dibaca-ulang di dalam kelas kami. Berawal dari situlah, kami termotivasi untuk membaca buku. Sungguh aku rindu guruku yang apa adanya. Guruku yang mengakui ketidakmampuannya. Dengan pengakuan itu, guruku selalu menulis. Hasil tulisan itu, selalu di bawa di dalam kelas. Tulisan tangan yang agak jelek itu, selalu dipamerkan kami. Sejak itulah, kami termotivasi untuk menulis. Sungguh aku rindu guruku yang apa adanya. Guruku yang mengakui ketidakmampuannya. Dengan pengakuan itu, guruku selalu mengajakku berkunjung ke lapangan. Membaca situasi, mengamati, bertanya tentang berbagai hal yang berhubungan dengan apa yang Beliau tulis dan apa yang Beliau bacakan di dalam kelas itu. Aku dan kawan-kawanku diajarkan tentang mencari kebenaran, menguji kebenaran, mengumpulkan kebenaran, dan mengabarkan kebenaran. Sungguh aku rindu guruku yang apa adanya.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/es_lodheng/aku-rindu-guruku-yang-apa-adanya_58f416ec127f61f7079eb207
Entah sudah berapa lama. Suasana saat itu, di kelas. Guruku mengajar dengan tampil apa adanya. Saat itu, Beliau selalu membacakan selembar tulis karyanya. Aku dan para muridnya mendengarkan dengan khikmad. Lembar tulis tangan itu benar-benar mengantarkan kami semua memahami sebuah materi yang diajarkan. Satu dua hingga tiga pertemuan di kelas itu, selalu dilanjutkan dengan berkunjung di lapangan. Guruku selalu menunjukkan keterhubungan antara yang Beliau tulis, dengan yang dikunjungi. Dan tak lama kemudian, Beliau membimbing kami untuk menulis sebuah pengalaman. Namun sekarang, jarang sekali aku temukan sosok guru yang demikian. Guru sekarang cenderung mengandalkan teknologi. Guru sekarang cenderung boros energi. Gedung mewah, perangkat video-audio, dan AC selalu lekat dengannya. Slide powerpoint dan tayangan film selalu di jejalkan pada kami semua. Entah dari mana sumbernya. Kami merasa, dari ujung barat sampai ujung timur, media yang digunakan tak lagi bersumber darinya. Semua sama, sama-sama tidak memiliki apa yang disuguhkannya. Kami dan guru kami, seakan belajar materi langit, namun sepi akan peraduan cinta. Sungguh aku rindu akan guruku yang apa adanya. Guruku yang mengakui ketidakmampuannya. Dengan pengakuan itu, guruku selalu membaca buku. Buku yang dibaca, selalu di bawa di dalam kelas. Buku-buku yang dibaca di rumahnya itu, selalu dibaca-ulang di dalam kelas kami. Berawal dari situlah, kami termotivasi untuk membaca buku. Sungguh aku rindu guruku yang apa adanya. Guruku yang mengakui ketidakmampuannya. Dengan pengakuan itu, guruku selalu menulis. Hasil tulisan itu, selalu di bawa di dalam kelas. Tulisan tangan yang agak jelek itu, selalu dipamerkan kami. Sejak itulah, kami termotivasi untuk menulis. Sungguh aku rindu guruku yang apa adanya. Guruku yang mengakui ketidakmampuannya. Dengan pengakuan itu, guruku selalu mengajakku berkunjung ke lapangan. Membaca situasi, mengamati, bertanya tentang berbagai hal yang berhubungan dengan apa yang Beliau tulis dan apa yang Beliau bacakan di dalam kelas itu. Aku dan kawan-kawanku diajarkan tentang mencari kebenaran, menguji kebenaran, mengumpulkan kebenaran, dan mengabarkan kebenaran. Sungguh aku rindu guruku yang apa adanya.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/es_lodheng/aku-rindu-guruku-yang-apa-adanya_58f416ec127f61f7079eb207

Merajut Kedamaian Dalam Kurikulum di Negeri Ini


Kekerasan simbolik dalam keseharian kita (doc. 2017)
Kekerasan simbolik dalam kehidupan sehari-hari (Foto Mas Ardy dan Mufid, 2017)

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/es_lodheng/merajut-kedamaian-dalam-kurikulum-di-negeri-ini_5910aaa9ad7e618e1ce36c83
Apapun nama kurikulum kita, yang utama adalah yang memuat nilai-nilai kedamaian. Negara harus menjamin warganya dalam memiliki karakter juru damai. Mulai dari mata pelajaran, sumber belajar, pengajar, metode mengajar, hingga instrumen evaluasi nya harus merajut perdamaian. Bukan berarti tidak penting memahami mengapa harus memihak pada kurikulum perdamaian, namun bangsa ini sudah lelah dengan hidup dalam keadaan terancam.
 Memang dalam tataran konsep, paling jagolah bangsa kita. Mendesain kurikulum ala nusantara, ala asing, hingga beraroma gado-gado, sungguh mudah.  Jenis apapun kurikulum kita, mulai dari perencanaan, pelaksanaan,evaluasi, dan tindak lanjut, di atas kertas kita selalu melaporkan berhasil. Namun semua itu tiada guna karena laporan itu tidak lain dan tiada bukan hanya hasil tipu-tipu alias asal bapak senang. Seakan tiap detik rasa damai ini terancam. Lihatlah, semua orang ingin menumpuk harta sebanyak-banyaknya karena terancam anak-anaknya tidak terjamin pendidikannya. Semua orang saling mencari kesempatan untuk saling memakan. Hanya tinggal menunggu ruang dan waktu yang pantas, pasti akan bergantian memakan. Selebihnya silahkan klik link berikut ini  link_artikel

Apapun nama kurikulum kita, yang utama adalah yang memuat nilai-nilai kedamaian. Negara harus menjamin warganya dalam memiliki karakter juru damai. Mulai dari mata pelajaran, sumber belajar, pengajar, metode mengajar, hingga instrumen evaluasi nya harus merajut perdamaian. Bukan berarti tidak penting memahami mengapa harus memihak pada kurikulum perdamaian, namun bangsa ini sudah lelah dengan hidup dalam keadaan terancam. Memang dalam tataran konsep, paling jagolah bangsa kita. Mendesain kurikulum ala nusantara, ala asing, hingga beraroma gado-gado, sungguh mudah. Jenis apapun kurikulum kita, mulai dari perencanaan, pelaksanaan,evaluasi, dan tindak lanjut, di atas kertas kita selalu melaporkan berhasil. Namun semua itu tiada guna karena laporan itu tidak lain dan tiada bukan hanya hasil tipu-tipu alias asal bapak senang. Seakan tiap detik rasa damai ini terancam. Lihatlah, semua orang ingin menumpuk harta sebanyak-banyaknya karena terancam anak-anaknya tidak terjamin pendidikannya. Semua orang saling mencari kesempatan untuk saling memakan. Hanya tinggal menunggu ruang dan waktu yang pantas, pasti akan bergantian memakan.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/es_lodheng/merajut-kedamaian-dalam-kurikulum-di-negeri-ini_5910aaa9ad7e618e1ce36c83
Apapun nama kurikulum kita, yang utama adalah yang memuat nilai-nilai kedamaian. Negara harus menjamin warganya dalam memiliki karakter juru damai. Mulai dari mata pelajaran, sumber belajar, pengajar, metode mengajar, hingga instrumen evaluasi nya harus merajut perdamaian. Bukan berarti tidak penting memahami mengapa harus memihak pada kurikulum perdamaian, namun bangsa ini sudah lelah dengan hidup dalam keadaan terancam. Memang dalam tataran konsep, paling jagolah bangsa kita. Mendesain kurikulum ala nusantara, ala asing, hingga beraroma gado-gado, sungguh mudah. Jenis apapun kurikulum kita, mulai dari perencanaan, pelaksanaan,evaluasi, dan tindak lanjut, di atas kertas kita selalu melaporkan berhasil. Namun semua itu tiada guna karena laporan itu tidak lain dan tiada bukan hanya hasil tipu-tipu alias asal bapak senang. Seakan tiap detik rasa damai ini terancam. Lihatlah, semua orang ingin menumpuk harta sebanyak-banyaknya karena terancam anak-anaknya tidak terjamin pendidikannya. Semua orang saling mencari kesempatan untuk saling memakan. Hanya tinggal menunggu ruang dan waktu yang pantas, pasti akan bergantian memakan.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/es_lodheng/merajut-kedamaian-dalam-kurikulum-di-negeri-ini_5910aaa9ad7e618e1ce36c83
Apapun nama kurikulum kita, yang utama adalah yang memuat nilai-nilai kedamaian. Negara harus menjamin warganya dalam memiliki karakter juru damai. Mulai dari mata pelajaran, sumber belajar, pengajar, metode mengajar, hingga instrumen evaluasi nya harus merajut perdamaian. Bukan berarti tidak penting memahami mengapa harus memihak pada kurikulum perdamaian, namun bangsa ini sudah lelah dengan hidup dalam keadaan terancam. Memang dalam tataran konsep, paling jagolah bangsa kita. Mendesain kurikulum ala nusantara, ala asing, hingga beraroma gado-gado, sungguh mudah. Jenis apapun kurikulum kita, mulai dari perencanaan, pelaksanaan,evaluasi, dan tindak lanjut, di atas kertas kita selalu melaporkan berhasil. Namun semua itu tiada guna karena laporan itu tidak lain dan tiada bukan hanya hasil tipu-tipu alias asal bapak senang. Seakan tiap detik rasa damai ini terancam. Lihatlah, semua orang ingin menumpuk harta sebanyak-banyaknya karena terancam anak-anaknya tidak terjamin pendidikannya. Semua orang saling mencari kesempatan untuk saling memakan. Hanya tinggal menunggu ruang dan waktu yang pantas, pasti akan bergantian memakan.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/es_lodheng/merajut-kedamaian-dalam-kurikulum-di-negeri-ini_5910aaa9ad7e618e1ce36c83
Apapun nama kurikulum kita, yang utama adalah yang memuat nilai-nilai kedamaian. Negara harus menjamin warganya dalam memiliki karakter juru damai. Mulai dari mata pelajaran, sumber belajar, pengajar, metode mengajar, hingga instrumen evaluasi nya harus merajut perdamaian. Bukan berarti tidak penting memahami mengapa harus memihak pada kurikulum perdamaian, namun bangsa ini sudah lelah dengan hidup dalam keadaan terancam. Memang dalam tataran konsep, paling jagolah bangsa kita. Mendesain kurikulum ala nusantara, ala asing, hingga beraroma gado-gado, sungguh mudah. Jenis apapun kurikulum kita, mulai dari perencanaan, pelaksanaan,evaluasi, dan tindak lanjut, di atas kertas kita selalu melaporkan berhasil. Namun semua itu tiada guna karena laporan itu tidak lain dan tiada bukan hanya hasil tipu-tipu alias asal bapak senang. Seakan tiap detik rasa damai ini terancam. Lihatlah, semua orang ingin menumpuk harta sebanyak-banyaknya karena terancam anak-anaknya tidak terjamin pendidikannya. Semua orang saling mencari kesempatan untuk saling memakan. Hanya tinggal menunggu ruang dan waktu yang pantas, pasti akan bergantian memakan.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/es_lodheng/merajut-kedamaian-dalam-kurikulum-di-negeri-ini_5910aaa9ad7e618e1ce36c83