Sabtu, 17 Juni 2017

Rekayasa Sosial Budaya Ruang Kelas Kita

Sumber: https://ekazai.files.wordpress.com/2013/03/2.jpg


“Apapun harinya, bagi sekolah, yang terpenting adalah menjadikan momentum untuk melayani pembelajaran para siswa. Entah itu hari pendidikan, hari kebangkitan nasional, hari kemerdekaan, hingga pentas tradisi sosial lainnya, semua itu dapat dijadikan pintu masuk dalam mencerdaskan generasi muda penerus bangsa Indonesia.”

 
Sekolah-sekolah di Indonesia, sungguh memiliki landasan tradisi yang beragam. Lahir menjadi negara persatuan dan kesatuan, corak multikultural adalah sebuah keniscahyaan. Namun terkadang pendekatan pembelajaran kita cenderung melesat jauh dari basis kultur yang menawan. Sungguh menjadi ironi, bahwa pembelajaran-pembelajaran di sekolah cenderung meninggalkan gerakan kebudayaan. Kasak-kusuk pembelajaran di sekolah hanya sebatas pelengkap administratif semata. Tanpa disadari, kegiatan pembelajaran kita, semakin mengejar sesuatu yang fana tanpa menyinggung pembelajaran sosio-kultur yang penuh makna.

Kita punya tradisi besar menjadi masyarakat kepulauan. Kita pun punya tradisi besar menjadi negara agraris. Tapi kita sampai saat ini masih malu menggunakan tradisi agung tersebut untuk kita jadikan pintu masuk dalam proses pembelajaran. Kegiatan-kegiatan di sekolah seakan dalam posisi kutub yang berseberangan. Kegiatan pembelajaran di sekolah seakan membangun mercusuarnya sendiri, tanpa adanya tanggung jawab pembelajaran kita bersama. Pentas tradisi seakan menjadi tanggung masyarakat semata. Sekolah juga seakan apatis dengan pentas tradisi. Hal ini dapat dilihat tidak ada satupun rasa kewajiban dalam program pengabdian sosial untuk mendukung kegiatan tradisi. Padahal jika pihak sekolah jujur mengakui, keberadaan sekolah tidak lepas dari masyarakat pengikut tradisi nusantara yang besar ini.

Untuk itu, perlu kiranya ada ulasan tentang bagaimana rekayasa pembelajaran berbasis sosio-kultur kita. Namun sebelum membahas hal tersebut, perlu kiranya kita mengidentifikasi berbagai hal kekayaan sosio-kultur kita, diantaranya kekayaan akan alat musik tradisi, kekayaan pakain adat nusantara, keragaman tarian adat nusantara, kekayaan rumah adat daerah kita,  hingga ragam hasil bumi dan laut yang dimiliki oleh bangsa kita, bangsa Indonesia. Kekayaan sosio-kultur ini menjadi penting untuk kita miliki bersama, karena dengan hasil kebudayaan kita tersebut, kita semakin bangga dengan diri kira, bangga menjadi bangsa Indonesia, sebuah bangsa besar yang hingga saat ini masih berdiri kokoh dalam ikrar kita, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia.

A.      Kekayaan Nusantara

1.       Kekayaan Alat Musik Nusantara

Masihkan ruang kelas kita isi dengan ragam alat musik tradisional bangsa Indonesia? Sebagian besar jawabnya tidak. Kita harus jujur bahwa ruang kelas kita cenderung kita fungsikan sebagai ruang expo hasil teknologi import. Alat  musik mulai dari gambus, sasando, panting, angklung, suling, siter, kenong, rebab, gong, bende, kecapi, gendang, bonang, serunai, tuma, kolintang, kecapi, cengceng, lado-lado, rifai, doli, tifa, hingga marwad, hanya menjadi koleksi domain youtube semata. Ruang kelas kita semakin keras dengan seabrek isi kabel-kabel dan sinyal wifi. Namun sayangnya, akses komunikasi tanpa batas ini semakin jauh dari kekayaan alat musik tradisional. Ruang kelas kita semakin sepi dari denting  musik tradisi. Padahal alat musik tradisi yang kita miliki inilah, menjadi bukti nyata akan keagungan peradaban seni bangsa Indonesia. Sehingga wajar jika ruang kelas kita semakin padat dengan informasi yang hoak tanpa ada pihak yang bertanggung jawab terhadap itu semua.

2.       Kekayaan Tarian Adat Nusantara

Selanjutnya adalah kekayaan kita akan tarian adat nusantara. Saat ini, ruang kelas kita sangat sepi dengan pentas tari tradisi. Ekspresi tradisi yang penuh dengan arti ini semakin jauh dari mata para siswa di negeri ini. mungkin hanya pada saat moment acara pelepasan siswa saja, pentas tarian itu digelar ,itupun hanya sebatas pentas tari etnosentris belaka. Adapun pentas tari tradisi lainnya, tetap terlelap dalam tumpukan buku di rak perpustakaan. Regam tari tradisi yang kita cukuplah banyak. Mulai dari tari seudati, tor-tor, payung, bekhusik, tandak, melemang, sekapur sirih, bidadaei, campak, melinting, yapong, merak, topeng, bambangan cakil, srimpi, remo, legong, lenggo, gareng lemeng, monong, gong, tambun dan bungai, jepen, baksa kembang, maengket, polo-polo, kipas, lumense, balumpa, lampa, lenso, soya-soya, eta’e wosi, hingga tari selamat datang, kita punya. Kita tidak pantas memposisikan tarian tradisi tersebut adalah lepas dari pembelajaran di ruang sekolah kita. Pentas tarian di atas adalah milik bangsa Indonesia, adapun pemilik asal adalah masyarakat Indonesia yang wajib kita hargai dengan mementaskannya, bukan mencibir apalagi menghalau lepas dari proses pembelajaran di sekolah kita. Bukankan dengan tarian-tarian tersebut, karakter dan identitas kemajmukan bangsa Indonesia menjadi ada? Untuk itu sudah saatnya ruang kelas kita menjadi ruang pentas kekayaan tarian bangsa.

3.       Kekayaan Rumah Adat Kita

Ragam kekayaan yang sungguh berharga adalah rumah adat nusantara. Sungguh unik jika dalam ruang kelas kita, dipayungi oleh ragam rumah adat nusantara. Sungguh istimewa jika bangunan utama sekolah kita adalah petanda dari karakter rumah adat dari masing-masing dimana sekolah tersebut berdiri. Namun pada kenyataannya sungguh berbalik. Bangunan kelas kita semakin jauh dan perlahan menjauh dari model bangunan rumah adat nusantara. Entah mengapa hal ini terjadi. Apakah hal ini dipengaruhi oleh pejabat sekolah atau hingga para pemangku kebijakan pendidikan nasional Indonesia. Tidak satupun standar operasional prosedur dalam membangun ruang kelas kita, melibatkan arsitektur rumah adat nusantara. Seakan semua seiya sekata, yang penting bangunan tersebut menyerupai ruangan kelas eropa, dipandang sudah menjadi sekolah yang ramah dari segalanya. Yang penting sesuai dengan rancangan anggaran pembangunan, maka berdirilah ruang sekolah kita.

Sungguh sangat indah jika sebuah sekolah menjadi laboratorium rumah adat nusantara. Secara struktur, melalui pemerintah dan macam produk hukum yang ada, bangsa Indonesia sangat mudah memiliki sekolah berbangun rumah adat nusantara. Semua bentuk rumah adat nusantara dapat kita pilih dan pilah sesuai ketersediaan bahan baku yang ada. Mulai dari rumah adat aceh, balai batak toba, rumah rakit, rumah rakit, rumah gadang,rumah selaso jatuh kembar, rumah panggung, nuwo sesat, rumah limas, bubungan limas, joglo, kasepuhan, rumah pewaris, rumah bentang, rumah panjang, rumah lamin, banjar, mamasa loko, bolaan mongondow, rumah sauraja, laikas, tongkonan, rumah natah, loka samawa, mosa logitana, rumah baileo, hingga rumah honai, dapat kita adopsi untuk model ruang kelas sekolah kita. Urusan bagaimana model arsitekturnya, ini menjadi menjadi daya tarik tersendiri. Dengan model ruang kelas berbasis rumah adat, setidaknya sekolah kita telah menjadi ruang diskusi kebangsaan, karena sekolah telah melepaskan diri dari ego kesukubangsaan. Dengan model sekolah yang demikian, inilah yang sebenarnya menjadi sekolah rujukan standar nasional. Bukan sebaliknya, bangunan sekolah kita cenderung milik bangsa luar, hanya semata-mata mengejar sekolah rujukan hingga berstandar internasional.

4.       Kekayaan Pakaian Adat Kita

Selanjutnya adalah ragam pakaian adat yang dimiliki masyarakat nusantara kita. Pakaian adat merupakan busana identitas yang biasanya dikenakan saat berinteraksi satu sama yang lain. Selama ini pakaian adat lebih kental kental saat acara pernikahan berlangsung. Selepas dari moment-moment tersebut, pakaian adat nusantara jarang dikenakan. Mengingat pakaian adat adalah salah satu kekayaan bangsa Indonesia, dimana pakaian adat telah berposisi dan berperan penting dalam membangun karakter bangsa Indonesia, maka pakaian adat nusantara sangat strategis digunakan untuk busana seragam sekolah kita. Bukan berarti merendahkan seragam sekolah saat ini yang memiliki semangat kesetaraan, namun perlu diingat bahwa merawat Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat melalui pengenalan pakaian adat nusantara sejak dini. Hanya saja kita cenderung sudah nyaman dengan dalih kesetaraan terhadap pengenaan seragam sekolah saat ini. Terlebih bahan busana seragam sekolah saat ini telah berelasi dengan lembaga bisnis konfeksi, dan telah menjadi komoditas bisnis pihak-pihak sekolah di negeri nusantara saat ini.

Kita punya apa? Kita punya busana adat yang anggun seperti busana adat sulawesi tenggara, sulawesi tengah, dan busana adat DKI Jakarta. Kita punya busana yang artistik seperti busana adat  sumatera selatan, jambi, lampung, bali, dan busana adat kalimantan,. Kita punya busana adat yang heroik seperti busana adat papua barat, papua, kalimantan utara, kalimantan tengah, kalimantan timur, dan busana adat kalimantan barat. Kita punya busana yang simbolik seperti busana adat jawa tengah, DI Yogyakarta, dan busana adat jawa barat. Dan kita juga punya busana yang adaptif seperti busana adat madura, riau, kepulauan riau, dan masih banyak karakteristik busana adat yang dimiliki nusantara ini. Ragam busana adat ini sungguh kaya untuk refensensi busana sekolah anak-anak kita.

Jika kita berani membuka diri dengan kekayaan busana adat kita, kita tidak akan kehilangan kekayaan busana adat kita. Kita tidak lagi dihegemoni dengan pemodal konfeksi dan tren fashion yang kerap kali kapitalis dan meminggirkan kekayaan lokalitas bangsa kita ini. Tren  fashion para siswa kita sungguh telah dikendalikan oleh tren fashion yang jauh dari filosofi busana nusantara. Sehingga dengan memberanikan diri menggunakan busana adat nusantara kita, maka sama halnya kita telah menghormati dan manghargai, dan yang lebih penting telah mengenalkan nilai-nilai sosial budaya yang agung yang bersemayang dalam busana adat nusantara.

B.      Rekayasa Ruang Kelas Kita

1.       Rekayasa Alat Musik Nusantara Dalam Ruang Kelas Kita

Menjadikan ruang kelas menjadi pentas alat musik tradisional bangsa Indonesia. Sudah saatnya pembelajaran kita hadirkan dengan memulai petikan alat musik tradisi. Begitu indah ruang kelas kita, jika itu semua terjadi. Ruang kelas kita benar-benar menjadi milik kita, bukan ruang kelas yang dikendalikan oleh perkakasan tekonologi import yang cenderung menguras devisa kita. Selain itu, alat musik tradisi dapat menjadi media pembelajaran pada mata pelajaran yang relvan. Misal, dalam pembelajaran fisika, kita dapat menggunakan media sasando untuk memahami bunyi-bunyian. Tentu bukan semata-mata bunyi-bunyain yang meninabubukkan para siswa. Namun bunyi-bunyian yang membangunkan daya pikir kritis kita untuk tetap merajut bunyi kesatuan dan persatuan.

2.       Rekayasan Tarian Adat Nusantara Dalam Ruang Kelas Kita

Lantas bagaimana menggunakan materi tarian adat menjadi bagian dari kurikulum ruang kelas sekolah kita? Kita sadari atau tidak, kita dilahirkan menjadi bangsa yang penuh dengan talenta seni. Namun dalam pembelajaran di kelas, kita selalu malu-malu mengakui hal tersebut dengan bukti bahwa pentas tarian tradisi nusantara sangat langka menghiasi dinamika pembelajaran di ruang kelas sekolah kita.  Kita sungguh tidak mengakui walaupun banyak jurusan ilmu sosial menjadi pilihan para siswa kita, namun ragam keilmuan yang kita berikan, belum memberi warna dan karakter masyarakat Indonesia. Untuk itu, ruang kelas kita harus kita ambil alih. Ini kelas milik kita. Ini para siswa adalah generasi penerus kita. Jadi sudah saatnya, ragam tarian tradisi yang penuh makna ini menjadi  karakter kita dalam bersikap dan bertindak. Sudah saatnya ragam tarian tradisi menjadi media dalam menghantarkan materi pembelajaran di kelas. Sudah saatnya pembelajaran kita memberi ruang dalam membedah apa yang termaktup dalam tarian tradisi milik kita. Secara fungsional, tarian tradisi dapat kita pentaskan di ruang kelas kita menjadi wujud ekspresi senang, keprihatinan, kedewasaan, kesetiakawanan sosial, hingga ketaataan menjadi bangsa yang religius sekaligus berjiwa seni yang mapan. Secara teknis, tarian tradisi dapat kita pentaskan pada mata pelajaran seni, olahraga, moment pertemuan wali murid, moment pelepasan siswa, peringatan nasional, moment penjaringan siswa baru, hingga partisipasi pentas seni pada kegiatan sosial budaya pada masyarakat di sekitar sekolah itu berada. Dengan demikian, tarian tradisi tidak hanya kita miliki di atas kertas saja. Melalui tindakan tersebut, tarian tradisi menjadi milik kita. Kita miliki karena kita kuasai.  

3.       Rekayasa Rumah Adat Dalam Ruang Kelas Kita

Secara umum bahan dasar rumah adat nusantara adalah berbahan kayu, batu, tanah bakar, dan dedaunan kering. Selebihnya adalah berbahan pasir dan sedikit pasak besi untuk penguat saja. Dengan iklim tropis dan kaya akan tumbuhan dan batuan, sebenarnya bahan baku bangunan kelas bercitarasa rumah adat nusantara, adalah sesuatu yang sangat mudah diwujudkan. Kita punya hutan luas yang kayunya dapat kita gunakan untuk bahan utama bangunan kelas kita. Tinggal keberanian dan pilihan kita saja, alasan yang untuk memupuskan rencana besar ini, sifatnya hanya mengada-ada. Modal sosial kita dalam mewujudkan bangunan kelas bernuansa rumah adat pun luar biasa besarnya. Setiap sekolah benar-benar akan menjadi milik masyarakat, karena para tukang rumah adat dapat dilibatkan sedemikian rupa. Terlebih, corak rumah adat nusantara adalah ramah bencana. Tentu lebih sedikit resiko rusak karena fenomena gempa. Untuk itulah, model rumah adat nusantara dapat kita gunakan secara formal untuk bangunan ruang kelas kita.

Dengan aristektur rumah adat pada ruang kelas kita, semua suku bangsa yang sekolah, seakan-akan dirumahnya sendiri. Para siswa tidak lagi berkendala shock-kultur yang ditandai sulit beradaptasi dalam pembelajaran mereka. Selain itu, sekolah kita dapat menjadi ruang-ruang kelas yang penuh dengan nasionalisme, kesetiakawanan nasioanal, hingga mimpi-mimpi indah dalam memuliakan semua manusia yang ada di sekolah. Sekolah kita menjadi rumah kita, yaitu rumah bangsa Indonesia.

4.       Rekayasa Busana Adat Dalam Ruang Kelas Kita

Lantas bagaimana memanfaatkan busana adat nusantara yang luhur ini dalam dinamika ruang kelas sekolah kita? Secara teknis, penggunaan busana adat disesuaikan dengan situasi dan kondisi sekolah masing-masing. Tanpa menghapus seragam sekolah yang ada, busana adat dapat digunakan menjadi seragam sekolah secara situasional. Contoh pada hari tertentu, siswa diharapkan menggunakan pakaian adat secara beragam. Tanpa ada paksaan, para siswa dibebaskan memililh busana adat mana yang disukainya. Dengan demikian, maka akan terwujud keragaman busana adat yang dikenakan para siswa, tentu termasuk pada gurunya.

Busana adat juga dapat digunakan secara moment-moment tertentu dalam rangka merawat keberagaman Indonesia, misal saat peringatan hari sumpah pemuda, peringatan hasi kebangkitan nasional, peringatan hari kemerdekaan nasional, dan lain-lain. Jika ini semua telah terpola, maka keragaman atas dasar sosial budaya tidak lagi rentan menjadi jurang pembeda.

C.      Tantangan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Kita

Apapun namanya dari kekayaan sosial budaya Indonesia, pada dasarnya semua yang kita punya, adalah alat perajut generasi muda untuk merawat keberadaan negara kesatuan republik indonesia. Kita punya tarian adat nusantara, harusnya kita gunakan untuk merawat negara kesatuan republik indonesia. Kita punya alat musik nusantara, harusnya kita gunakan untuk merawat negara kesatuan republik indonesia. Kita punya pakian adat nisantaranya, harusnya kita gunakan untuk merawat negara kesatuan republik indonesia. Dan begitupun rumah adat nusantaranya, kita harus gunakan untuk merawat negara kesatuan republik indonesia.


Untuk itu, berghubungan dengan keberadaan menteri pendidikan dan kebudayaan Indonesia, sang menteri harus selalu memberi ruang dialok kebangsaan di setiap sekolah di Indonesia. Mulai dari tarian, rumah adat, alat musik, hingga pakaian adat, merupakan prasarat yang harus dihadirkan setiap rencana pendidikan oelh menteri pendidikan dan kebudayaan kita. Janganlah mengaku menjadi menteri pendidikan dan kebudayaan Indonesia, jika tidak mampu melakukan rekayasa ruang kelas sekolah kita dengan pendekatan sosial budaya khas Indonesia. 

Selasa, 13 Juni 2017

Berkunjung di Desa Pakis Kecamatan Sale

Buah Kelapa desa Pakis (Dok. Pribadi, 2017) 
Sore tadi, saya bersama teman-teman pegiat dokumenter Komunitas Rumah Baca,  jalan-jalan ke arah selatan kawasan Rembang. Bersama mas Adit, dan mas Bodor, kali ini tidak dengan mas Mufid karena ada acara dengan pacarnya, kami mengunjungi desa Pakis kecamatan Sale.

Agak sedikit lelet sore itu, pukul 14.30 wib lebih sedikit, kami bertiga meluncur dengan dua sepeda buntut. Setahun yang lalu kami juga berkunjung ke desa sentra kelapa ini.

Tampak perubahan disana-sini. Akses jalan menuju desa ini cukup kentara. Pembukaan akses jalan baru menuju persawahan desa pun sedang dikerjakan. Semoga Pemerintah Daerah Rembang semakin perhatian dengan pembangunan desa-desa bagian selatan, semakin meningkat, tanpa putus, dan berkelanjutan.

Panorama alam desa Pakis cukup menarik untuk menjadi bidikan kamera dokumenter kami. Setelah kami menyusuri jalan berkelok tajam dan mendaki, setelah melintasi deretan desa di atas roda angin, kami pun disuguhi dengan deretan kampung desa Pakis yang eksotis. Sesekali sekawanan ternak dengan rapi melintas, spot deretan rumah kampugn Pakis ini tidak lepas dari bidikan dokumentasi kami. Deretan rumah itu sepintas berjajar seirama dengan altar pegunungan Pakis. Lambai daun kelapa yang membentang luas, seakan tampak membangun alur persawahan terasering yang subur dan asri.

Desa dengan sentra hasil bumi buah kelapa ini, tampak menjanjikan sekali. Disetiap sudut jalan utama yang menghubungkan jalan pertanian dan persil, terdapat tumpukan buah kelapa muda yang siap didistribusikan ke kawasan Pamotan, Lasem, dan Rembang kota. Di bulan puasa ini banyak pesanan buah kelapa muda, ungkap petani desa Pakis, di saat sembari bercengkerama dan menemani mas Adit dan mas Bodor mengambil lanskap bumi Pakis yang indah ini.

Usai mengambil spot deretan rumah dan kebun kepala, kami bergegas menaiki perkampungan desa. Setiap langkap kami, serasa beriringan dengan sapa ramah penduduk. Kampung desa Pakis ini cukup rapat. Sekitar empat ratus rumah lebih, bangunan rumah telah berdiri. Dahulu, tahun 1967 perkampungan ini hanya didiami seratus tujuh belas rumah saja. Mereka adalah keturunan dari keluarga simbah Soko.

Menurut cerita, simbah Soko berasal dari daerah Pamotan, tepatnya dari Samaran. Sebagian besar, penduduk desa ini memiliki hubungan alur genetik dengan simbah Soko. Cerita lisan yang berkembang, nama Soko selalu berhubungan dengan keberadaan pohon soko yang saat di tengah kampung. Suatu ketika, pertama kali orang yang buka lahan di desa Pakis ini membuat sumur. Orang tersebut kemudian menancapkan tongkat yang terbuat dari dahan kayu soko ke dalam sumur. Dan singkat cerita, kemudian tongkat itu tumbuh menjadi pohon soko yang hingga sekarang masih kokoh berdiri.

Perihal asal usul nama desa Pakis, cerita rakyat yang berkembang menuturkan bahwa nama pakis berasal dari banyaknya vegetasi pohon pakis. Dahulu, pohon pakis itu tumbuh berderet dengan rapi membentuk alur jalan kawasan pegunungan di kawasan Rembang bagian selatan ini. Keberadaan pohon pakis inilah, tersebutkan kawasan ini dengan sebutan pakisan, yang kemudian istilah pakisan ini menjadi identitas desa hingga digunakan menjadi nama desa, yaitu desa Pakis.

Pola pemukiman desa Pakis cenderung memusat dan memanjang di atas altar persawanan nan subur. Tata rumah menyesuaikan dengan kondisi alur pemukiman berundak. Masyarakat desa membangun lahan untuk mendirikan kampungnya dengan deretan tebing bertata batu. Batu-batuan tersebut ditata dengan rapi menyerupai tembok memanjang seiring alur panjang jalan yang membentuk halaman depan perumahan kampung. Batu-batu itu didapatkan dari sebaran material yang ada di tanah kebun mereka. Dengan semangat, penduduk Pakis memuliakan sebaran batu itu, dengan membawanya ke rumah. Selepas itu, areal kebun yang telah rapi, siap untuk ladang tani padi. Inilah sebabnya mengapa di perkampungan ini berlimbah batu dan berdaya padi.

Batu-batuan tersebut tertata dengan rapi. Tanpa sedikit hawatir, walau batu tanpa balur pengikat, tatanan batu terbukti kokoh dan tentang. Arah mata anginpun berhembus hingga ke latar rumah, setelah menembus barisan batu penegas halaman depannya.

Tatanan batu yang ada telah menjadi penentu alur jalan setapak penghubung antar rumah penduduk. Disela-sela ruang terbuka depan rumah penduduk, tumbuhlah pohon pisang dan pohon kelapa. Dengan ramah seakan menyatu membentuk kawasan kampung berlimpah hasil bumi. Pisang-pisang itu bertandan searah cahaya pagi. Dan tidak lebih dari setengah meter, batang kelapa itu telah berbuah dengan lebatnya.

Semakin kami menaiki perkampungan dengan altar pegunungan Tapak yang gagah ini, semakin kami terpukau. Lanskap perkampungan desa tampak asri saat diintip dari sudut puncak sawah terasering itu. Sore tadi, di-iringi dengan lantunan kitab suci dari surau dan masjid, menambah suasana tenang dan damai di bulan puasa desa ini. Tak satupun spot alam tertinggal dari perhatian mas Adit dan mas Bodor. Mereka berdua bergantian mendokumentasikan suasana asri di sore tadi.

Samakin menaiki, semakin terasa sejuk kampung ini. Tampak jelas, deretan awan kabut berarak melintas pelataran kampung. Bentang awan itu semakin jelas batasnya, saat dilihat dari bingkai bukit gunung Tapak. Kami bertiga sangat cukup menikmati keasrian desa ini. Nuansa yang sejuk dan damai, terlihat dari pojok sawah kampung yang sedang tumbuh tanaman jagung dengan tumpang sari kacang hijau yang sedang kuncup ini.

Selepas mendokumentasikan spot kampung dari altar sawah, kami di ajak mas Sareh dan adik bungsunya (pemuda desa Pakis yang sebelumnya kami kenal tiga tahun yang lalu), menuju kebun kelapa milik orang tuanya. Menyusuri jalan setapak, sampailah kami di kebun kelapa yang terhampar luas. Panorama kebun kelapa itu menyatu dengan petakan sawah terasering. Tumbuhan padi itu beliuk dengan batas pematang yang tumbuh pohon kelapa. Kami cukup terpukau, tampak seperti dalam lukisan. Suasana desa dengan sawah berhampar luas, padi yang menguning, pohon kelapa yang berjajar rapi, dan latar pegunungan nan asri.

Kami pun segera berjalan membelah di atas pematang sawah menuju pohon kelapa. Dengan terampil, mas Sareh tanpa ragu memanjat pohon kelapa. Satu persatu buah kelapa muda itu dipetik disela-sela pelepah pohonnya. Sungguh tampak terlatih saat memanen buahnya. Buah itu dipetik dan dijatuhkan satu persatu pada semak pohon. Seiring dengan lambai nyiur daun kepala, buah itu bersandar tepat pada posisinya. Kamera mas Adit pun dengan semangat mendokumentasikannya.

Tak lama kemudian, mas Sareh turun dari pohon kelapa. Tapak kaki dan pohon kelapa itu seakan berdamai. Tanpa salah sedikitpun, telapak kakinya tepat mengangkangi pohon kepala.

Bergegas kami berlima menuju rumah mas Sareh. Sore itu kami di ajak menyusuri jalan pertanian yang baru dikerjakan. Benar-benar baru akses jalan sore itu. Bahkan material batunya tampak masih baru. Pelan namun pasti, perjalanan menuju rumah mas Sareh harus berbagi dengan pengguna jalan yang lain. Karena pada saat yang sama, penduduk desa juga sedang menikmati sejuknya kampung halaman. Sesekali kami menyapa, mereka bergegas melempar senyum. Seakan penduduk itu sedang menanti suara adzan magrib dengan hikmat, dimana saat makan dan minum menjadi nimat dan tanpa merasa bersalah.

Penyambutan keluarga
Saat saat menunggu beduk dengan kelapa muda
Menyruput es kelapa muda
Asatnya ritual asap
Sego jagung kampung pakis
Oseng kates berlimpah cabe
Sholat setelah kenyang
Masjid baru jamaah lama
Cerita masa dengan pemilik tales manis
Pamit untuk menulis
(tulisan sementara putus, karena tiba-tiba banyak pengunjung di rumah baca)


Pamotan, 14 06 2017